Part 14

85 9 12
                                    

Happy Reading
....

Raden meneguk kopinya dengan perlahan, ini sudah gelas ke 2 untuk Raden malam ini.
Sesekali Raden menyesap rokok yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.

Kalau tidak benar-benar sekacau ini, Raden tidak mungkin mau menyentuh rokok lagi. Raden sudah lama tidak merokok, ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia merokok.

"Lo kenapa sih sebenarnya?" tanya Sakti.

"Lo masa ngajak gue ketemuan, cuma buat ngeliat lo minum kopi sama ngerokok doang!" sambung Sakti lagi.

"Biarin gue ngerokok dulu," jawab Raden santai.

"Lo nggak takut apa kalau Lea tau lo ngerokok gini," ucap Sakti.

"Gue ngerokok karena dia," jawab Raden cepat.

Sakti mulai paham arahnya, Sakti menebak kalau Raden dan Lea sedang bertengkar, dan itu pasti pertengkaran yang cukup hebat. Kalau hanya pertengkaran biasa tidak mungkin Raden sampai begini.

Raden membuang puntung rokoknya ke tong sampah.

"Lea minta pisah." Raden mulai bercerita.

Sakti yang sedang meneguk kopi, sampai menyemburkan kopi yang sudah masuk ke dalam mulutnya.

"Becanda lo nggak lucu ya, gue sampe nyembur gini." Sakti mengambil tissue, membersihkan wajahnya dan meja yang kena semburan kopinya.

"Gue lagi serius," jawab Raden.

"Lo selingkuh?" tuduh Sakti.

"Bego!" Raden menjitak kepala Sakti.

"Heh, ramah banget tangan lo." Sakti mengusap-usap kepalanya.

"Jadi kenapa? Perasaan lo berdua baik-baik aja." Ekspresi terkejutnya Sakti masih tercetak jelas di wajahnya.

"Gue juga syok, kita harusnya tadi makan malam romantis. Eh tiba-tiba dia minta pisah."

"Jangan bilang lo iyain ya? Kayak waktu dia minta putus dulu." Sakti menatap curiga ke arah Raden.

"Gue egois nggak sih, kalau nggak mau mengabulkan permintaan dia?" tanya Raden.

"Syukurlah lo masih waras." Sakti mengelus dadanya.

"Kondisi mental dia setelah keguguran belum stabil kayaknya, jadi lo harus lebih sabar lagi ya. Lo harus nguatin dia, harus selalu ada di samping dia." Sakti menepuk bahu Raden.

"Dia katanya nggak mau punya anak lagi, Sakti. Gue nggak tau harus bersikap gimana." Raden mengusap wajahnya, menunjukkan betapa frustasinya ia saat ini.

"Dia bilang gitu?" tanya Sakti.

"Iya, Sak."

"Dia itu masih trauma Raden, lo percaya sama gue. Lama-lama nanti kondisinya akan jauh lebih stabil, hal itu wajar apalagi kondisinya yang hamil di luar rahim. Dia pasti punya ketakutan-ketakutan yang ia pendam sendiri, sampai ia bisa mengambil keputusan sejauh ini."

"Sekarang, lo cukup pahami kondisi dia dulu. Jangan tuntut dia apa-apa, kalau dia udah nyaman lagi gue yakin semuanya akan kembali seperti semula. Lebih bagus lagi kalau misalnya kalian konsultasi mengenai kondisi Lea ke Dokter, siapa tau itu bisa membantu Lea untuk berdamai dengan dirinya sendiri," sambung Sakti. Kalau soal-soal begini, Nasehat Sakti selalu bisa diandalkan.

"Iya, gue juga nggak bisa Sak pisah dari dia. Lo tau sendiri kan, cuma dia wanita satu-satunya untuk gue. Bisa stress gue kalau sampai pisah dari Lea."

"Makanya, lo nggak boleh ikut-ikutan emosi juga. Gue tau yang ada dipikiran lo, lo takut kan kalau Ibu lo tau soal Lea yang nggak mau hamil lagi?" tebak Sakti.

Hingga SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang