2. Jepang

84 7 2
                                    

ORIONA POV

Dingin. Aku menarik selimut lembutku gusar. Sayup-sayup aku mendengar suara tangis dari ruang keluarga yang tepat ada di depan kamarku. Aku melirik jam di nakas. Masih jam setengah enam pagi.

"Riona harus tetap disini ma. Tidak usah khawatir, dia sudah 16 tahun dan dia pasti bisa menjaga Lean dengan baik."

"Apa ? tidak usah khawatir ?. Yang benar saja hikss.."

Apa maksudnya aku harus tetap disini ? dan kenapa mama menangis ?.

Aku segera bangkit dari tempat tidur menuju ruang keluarga untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ini situasi yang sangat tidak biasa. Bisa dikatakan selama hidupku, aku tidak pernah mendengar papa dan mama bertengkar. Dan saat ini mama menangis, apa yang papa lakukan ?. Saat tanganku hendak memutar knop pintu,

"Kita tidak punya pilihan lain ma. Dokter Bian adalah yang terbaik. Kita tidak bisa membawa Oriona ke Jepang."

Jepang ? tunggu tunggu, ini semakin menakutkan.

Aku membatalkan niat untuk membuka pintu dan membiarkan percakapan mama dan papa berlanjut.

"Tapi pa, hikss..hiks.."

"Ma, kamu tidak boleh egois seperti ini. Pikirkan masa depan Oriona juga. Indonesia yang terbaik saat ini untuk Oriona. Dia juga tidak akan menderita. Papa akan pastikan kebutuhan Oriona dan Lean tercukupi."

Tiba-tiba pikiranku sudah menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Orang tua ku ke Jepang dan aku di Indonesia sambil menjaga Lean begitukah ?.
Aku memang tidak pernah manja kepada orang tuaku selama ini walaupun papa dan mama selalu memanjakanku. Aku selalu menjaga sikapku kalau di depan orang tuaku. Aku bisa dibilang anak yang sangat patuh kepada orang tua. Tapi, kalau harus ditinggal papa dan mama sejauh ini. Aku rasa aku belum siap dan tidak akan mau kalau ditinggal di Indonesia tanpa mereka. Aku hampir tidak kenal siapa-siapa di sini. Selain Meta, temanku bisa dihitung dengan jari. Aku tidak suka terlalu terbuka terhadap pergaulan masa SMA. Karena aku tau! kalau mereka sampai tau kelainan anehku, pasti mereka akan menjauh. Tapi tidak dengan Meta. Aku tau papa dan mama pasti sudah berfikir panjang untuk masalah ini, tapi tetap saja! Jepang itu jauh!

Di saat aku sibuk dengan fikiranku, tiba-tiba aku merasa pintu di depanku terbuka. Itu papa.

"Hey, sudah bangun ? Tidurmu nyenyak ?"

Lihat, papa selalu pintar menyembunyikan hal-hal yang berbau kesedihan. Dan mama, aku sudah tidak melihatnya. Mungkin sudah pergi ke kamar dan menangis. Mamaku sangat mudah terbawa suasana dan dia sangat sensitif. Berbeda dengan papa yang selalu tegas dan disiplin kepada mama dan anak-anaknya. Tapi papa tidak selamanya serius. Papa sering menyelipkan candaan di kata-katanya, sehingga membuatku sering tertawa kalau diajak berbicara dengan papa.

"Begitulah."

Papa duduk di salah satu sofa di kamarku dan aku juga duduk di sofa, di depan papa. Tiba-tiba papa menyodorkan sesuatu yang langsung menimbulkan sensasi senang di otakku.

"Nih! Papa sebenarnya tidak mau membelinya. Tapi, mungkin sudah kebiasaan. Setiap papa melihat benda ini, papa langsung ingat kamu ri. Kemarin papa lupa ngasih ke kamu.Tapi jangan beritau mamamu kalau papa membelikanmu ini. Oke ?"

"Oke! Papa memang yang terbaik. Makasih pa."

Aku menerima barang itu dengan senyum yang aku paksakan. Sebenarnya aku sangat senang dengan pemberian papa ini. Tapi entahlah, karena kejadian barusan aku kehilangan seleraku.

"Hanya itu ? Kamu tidak tertarik dengan percakapan papa dan mamamu ?."

Papa tau aku mendengar percakapannya dengan mama. Luar biasa. Seperti Edward Cullen saja yang bisa tau apa yang sedang di fikirkan orang lain. Sayang kalah ganteng.

HOARDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang