4.2: Livestream Dream

3.2K 169 3
                                    

Saat Ame terbangun keesokan harinya, tubuhnya dalam keadaan berkeringat. Cepat-cepat diliriknya jam dinding. Sudah pagi.

"Delapan lewat tiga pu—astaga, terlambat!"

Dengan marah, dibuangnya selimutnya ke lantai dan melangkah keluar tanpa merapikan tempat tidur. Ia langsung mandi. Aya-nee sih enak, kantornya dekat, pikirnya kesal. Namun, Aya pasti sudah berangkat pada jam tujuh tepat. Aya biasanya pergi ke kantor bersama-sama Ame yang ingin ke kampusnya, tetapi dia lebih sering berangkat sendiri, dengan meninggalkan kunci mobilnya. Ame menyambar handuknya dan menghambur ke kamar mandi, hanya menyiram tubuhnya asal-asalan dan gosok gigi.

Gara-gara mimpi buruk, gerutu Ame dalam hati, ketika ia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah kuyup. Air masih menetes-netes dari balik handuknya, membasahi lantai. Apa tidak masuk saja? Ia malas menghadapi sekumpulan anak nakal yang mengatainya badut dan anak punk. Setidaknya sekarang kondisinya lebih baik dibanding saat bangun tidur tadi. Mimpi buruknya masih terngiang-ngiang... bahkan bertambah jelas. Lebih mirip siaran langsung televisi yang berputar di otaknya dibandingkan mimpi biasa.

"Kalian sudah terlalu lemah untuk memerintah Evaliot, Hakkou. Aku bisa membantumu... dengan caraku sendiri."

"... Terima kasih atas bantuanmu, tapi tidak. Anakku yang berhak menerima takhta setelah aku mangkat. Itu hukum yang sudah ditetapkan."

"Takumi? Dia sudah mati. Dia tidak punya kakak maupun adik, apalagi sanak kerabat terdekat. Aku bisa mengurus kerajaan kecilmu selama kau cuti. Ratu kita yang cantik ini juga tahu itu."

"Sialan—jangan sentuh Yuma! Penjaga! Ringkus pengkhianat i—"

"Ini bukan pengkhianatan, Hakkou, tapi kemampuan bermain politik. Seperti "beli satu gratis satu", ingat? Takumi menghilang dan para pengendali elemen mencarinya sampai ke bumi, dengan naifnya mengira mereka akan berhasil; dan kelima teritori kehilangan perlindungannya. Apa yang bisa melindungi Evaliot selain kecerdasan politik, huh? Remaja-remaja muda yang ceroboh, atau seorang raja yang tolol?"

"... K-kau... membunuh Takumi. Ada yang... salah di kepalamu."

"Ah, Yuma. Ini kali terakhir aku memintamu: hiduplah bersamaku, Milady. Hidupmu memang sial, sungguh—kehilangan orang yang kau cintai dua kali. Rakyatmu mungkin tidak tahu siapa yang pertama, tapi mereka tidak akan melupakan yang kedua: Takumi Kuro!"

"STOP!" teriak Ame kepada dirinya sendiri, pikirannya masih berputar-putar. Ia tidak akan masuk kuliah hari ini. Ya. Dia sudah memutuskannya. Mimpi-mimpi buruk itu perlu segera dihentikan. Semuanya terlihat familiar...

Suara laki-laki itu, dan perempuan yang dipanggil ratu itu juga familiar. Dan cara mereka memanggil nama itu, Taku... Siapa tadi?

Ame kembali ke kamarnya. Tubuhnya agak demam karena mandi air dingin tiba-tiba. Nanti siang ia perlu menemui Helen, psikiaternya selama lima tahun ini, dan—mengacuhkan ketidaknyamannya akan pandangan orang terhadap anak yang berkonsultasi ke ahli kejiwaan—menceritakan mimpi-mimpi buruk itu. Semoga saja wanita itu punya saran yang membantu.

ElementbenderWhere stories live. Discover now