12.2: Evidence Stolen

2.8K 140 1
                                    

Malam yang tidak terlalu bagus. Ame sudah menghitung bintang dan tidak banyak yang tersisa. Satu, dua. Ia pernah mendapat lima bintang dalam sekali lihat. Itu lima tahun yang lalu. Berapapun jumlah bintang malam ini, ia tetap merasa tidak enak.

Aya pulang lebih larut. Dia terlalu disibukkan dengan pernikahannya mendatang. Ame berpikir-pikir apa ia bisa membantu sedikit—yah, ia harus. Mungkin memesan buket bunga atau semacamnya. Kemudian ia teringat bahwa Aya sudah memiliki pengatur pernikahan yang akan mengurus hal itu.

Lagipula Ame tidak bisa mendapatkan buket bunga di mana pun selain Hana's Florist. Yah, tempat si "Higina" itu bekerja.

Mungkin ada detektif yang mengetahui masa lalunya. Orang tua dari masa lalunya membayar detektif itu untuk melacaknya sampai Fukui, kemudian menyeret Ame pulang, atau paling tidak melemparkan batu bata ke kepalanya—agar ingatan Ame pulih. Namun detektif macam apa yang mengatakan sesuatu seaneh Ayumi, Higina dan si pengantar pizza? Ia tidak mengerti.

Ame ingin memercayai mereka. Dunia elemen apalah. Ia hanya mengkhawatirkan kewarasannya.

Kemarin malam, mimpi-mimpi itu kembali. Hanya saja yang ini lebih kejam dibanding sebelumnya. Sebuah ruangan penuh cermin dari lantai ke langit-langit, tersegel kuat dari luar, menahan sepasang manusia—atau bukan manusia?—tak kasat mata. Aneh. Kemudian ada bangunan yang hancur... entahlah, ia tidak ingat. Helen bilang mimpi seperti itu melambangkan sesuatu. Masalah dengan sekolah, misalnya. Atau masalah-masalah lain yang lebih personal, terlihat biasa saja padahal sebenarnya sangat mengganggu alam bawah sadarnya. Dia tidak punya masalah apa-apa kecuali soal rumah sakit jiwa itu. 

Telepon di ruang tengah berbunyi nyaring.

"Halo?" sapa Ame setelah deringan kelima.

"Siapa ini?" perempuan bersuara gelap di sebelah sana membalas.

"Kediaman Aya Matsuzaki," jawab Ame singkat. Kakaknya bilang jangan pernah memberi alamat lengkap rumah kepada orang asing. Apalagi orang asing di ujung telepon yang langsung menanyakan "siapa ini?" setelah si penerima berkata "halo?".

"Ame Matsuzaki! Selamat, selamat," sambar perempuan itu cepat. "Untung bukan orang lain! Suaramu terdengar lain di sini." Ame sadar siapa si penelepon ini—Jules Brechtje. Sekarang ia yakin nama asli Jules adalah Julia.

"Ya, teleponnya belum berhasil diperbaiki," komentar Ame. "Bukannya bagus, malah tambah buruk," tambahnya sinis.

Jules terdiam beberapa saat, kemudian berkata, "kau perlu telepon genggam, Ame. Biar kita bisa bagi-bagi jawaban waktu ujian!"

"Tidak."

"Ayolaaah."

Ame menghela napas kasar. "Kenapa menelepon semalam ini? Ngantuk," tanyanya sambil terbatuk sesaat. Ia berbohong.

"Aku punya hadiah untukmu besok. Selamat ulang tahun!"

"Ame Matsuzaki tidak punya ulang tahun, Milady. Tanggal lahir di buku laporan itu tanggal aku ditemukan di pinggir hutan. Dan besok bukan tanggal—"

"Milady?"

Ame terkejut, menyadari ia tanpa sengaja memanggil Jules dengan salah satu gelar wanita-wanita yang tinggal di Inggris. Atau kerajaan-kerajaan lainnya. "... Lupakan. Kalau mau memberiku hadiah, jangan bilang-bilang, Baka."

"Ini bukan hadiah biasa," sambar Jules cepat-cepat. "Tapi kau jangan bilang-bilang polisi, ya? Dan si Pedo Bear...."

"Mmhmm. Kenapa?"

"Itu karena, aku mencuri..."

***

"Hah?!"

Jules mengangguk-angguk sendiri sambil membetulkan posisi telepon genggam di jemarinya, memain-mainkan rambut merah pendeknya seperti seutas tali. "Psst. Jangan keras-keras. Sudah malam." Senyum nakalnya terkembang. "Dia pasti sudah lapor polisi sekarang, jadi... jangan ikut laporkan juga."

Terdengar helaan napas di seberang sana. "Memang akan. Kalau kau memaksaku menerimanya. Ini hanya bercandaan, 'kan?" tanyan Ame, marah. Jules kaget menyadari sebegitu taatnya cowok itu pada peraturan semacam "jangan mencuri dari dosenmu sendiri!". Ame, 'kan, bukan anak raja atau semacamnya.

"Ayolah, ingat tahun lalu? Aku meminjam sepuluh yen dari dompet wanita tua dan besoknya kukembalikan lewat pos! Nah, sepuluh yen bisa dibelikan sesuatu, sementara benda koleksi tidak."

"Itu karena Nyonya Fuko tidak mempermasalahkannya," bantah Ame. "Sementara barang koleksi seperti itu bisa berharga jutaan—mungkin miliaran. Dan kau mencuri dua! Kenta-sama tidak mungkin tidak mencurigaimu—kau bisa dikejar-kejar polisi, Jules."

Setidaknya, Ame memanggilnya dengan nama yang ia mau. "Ya. Dan aku yakin penggerebekan polisi tidak dimulai sampai waktu sarapan. Aku sudah paketkan hadiah itu buatmu, Ame.  Mereka tidak akan mencurigaimu—kalau kau sembunyikan dengan aman, tentu saja. Tunggu sampai... pernikahan kakakmu, dan kita selundupkan ke kantor polisi, oke?" tawarnya panjang lebar.

"Gila."

"Dude, hidup itu gila! Kau juga pasti mau melihat katana itu, 'kan? Dan pi—"

"Kukira kau memanggilku Say."

"Dengarkan aku du—"

Sambungan terputus.

"Ame? Ameee?"

ElementbenderOù les histoires vivent. Découvrez maintenant