57.1: North Shore

1.7K 75 1
                                    

Di malam hari, Pyrrestia terang benderang oleh obor-obor yang menyala di sepanjang jalan dan alun-alun. Ketika keadaannya masih normal, api berwarna putih bercahaya. Pyrrestia bermandikan cahaya putih dari obor-obor tersebut setiap malam. Sekarang, warnanya merah gelap, terkadang hitam. Obor-obor itu masih dinyalakan, sesuai tradisi. Namun cahayanya tidak terlalu membantu lagi. Hanya panasnya yang terasa.

Di malam hari, ketika rakyatnya sebagian besar bergelung di tempat tidur masing-masing, Űbeltat mengendap-endap keluar dari manor sambil membawa Claws, kuda terbangnya. Claws sudah terlatih untuk tidak meringkik ketika tuannya memberinya isyarat diam. Ia menuntun kudanya ke halaman belakang manor, menyuruhnya tetap tenang, kemudian menaiki punggungnya dan mengambil alih tali kekangnya. Dengan satu tarikan keras, kuda itu mengambil ancang-ancang.

Mereka terbang melintasi Pyrrestia, menuju perbatasan. Sebuah pantai di utara. Űbeltat menarik tali kekang Claws, menyuruhnya mendarat. Claws menukik turun sambil meringkik pelan. Tanpa menunggu kaki-kaki kudanya menyentuh tanah, Űbeltat melompat turun dari punggungnya, kakinya menapak sempurna di pasir pantai yang putih.

Ombak yang hangat seolah mendesis melihat kedatangannya. Claws menghindar ke belakang, terkejut oleh serbuan air yang datang  tiba-tiba, tetapi Űbeltat tetap melangkah maju di tengah genangan air, tidak peduli. Sepatunya kemasukan air. Ia berjalan membelah ombak sampai air mencapai lututnya, kemudian berhenti, dan  mulai memanggil.

“Madam Mermaid!” teriaknya, nyaris memekik. Suaranya terdengar menyeramkan di tengah pantai yang sunyi. Kemudian, setelah melicinkan tenggorokannya, ia berteriak lagi. “Grey Froth!”

Tidak ada respon. Űbeltat mengumpat pelan.

“Madam Mermaid! Grey Froth!” Ia harus berhati-hati. Andaikan Madam Mermaid tidak ingin ia memanggilnya, wanita itu bisa mengirimkan sekompi bala tentara monster laut yang akan terus-terusan mengejarnya sampai mati. Űbeltat berteriak untuk ketiga kalinya, kemudian keempat kalinya. Masih tidak ada sahutan.

Űbeltat memejamkan mata. Ini alternatif terakhir.

“Lois! Mortimer!” teriaknya, ketika suaranya sudah serak dan memelan. Tiba-tiba, ombak pasang menghantam pesisir pantai. Űbeltat refleks melangkah mundur, merasakan kedatangan mereka. Air laut menggelegak  dan menghangat. Samar-samar, terdengar suara langkah kaki dan kibasan ekor dari dalam air. Lois memunculkan setengah tubuhnya di permukaan laut, sementara Mortimer menaiki pesisir pantai yang landai perlahan-lahan, tubuhnya terlihat sedikit demi sedikit. Pertama kepalanya, kemudian dadanya, pinggangnya, lututnya, hingga ia berdiri sempurna di samping Űbeltat.

Lois berenang mendekati mereka, ujung ekor cokelatnya timbul-tenggelam di tengah air yang gelap. Ketika ia berhasil mencapai pinggir pantai yang nyaris tidak ada airnya, wanita itu mendudukkan dirinya  di atas pasir dan menengadah menatap mereka. Ekornya yang bersisik kaku berkilat-kilat di bawah cahaya bulan yang temaram.

“Berapa kali kubilang; jangan panggil Grey Froth,” celetuk Mortimer, dengan nada jenaka di akhir kalimatnya. Pria bertindik itu meneliti wajah Űbeltat sesaat. “Ah, ya. Kau, seperti biasa.”

“Bagaimana kabarnya pelacur-pelacurmu?” sambar Lois. Wanita itu terkikik pelan sambil mengibas-ngibaskan ekornya. “Bukannya sekarang biasanya kau... bermain dengan mereka?”

Űbeltat tidak menganggap lelucon itu lucu, karena itu benar. Tidak, urusan pengendali-api-sejati-yang-sudah-kembali-ke-Pyrrestia itu lebih penting daripada seribu perempuan jalang sekalipun. Pria itu menggeleng cepat-cepat. Ia mengalihkan perhatiannya pada Mortimer.

“Berapa dari kita yang masih selamat?” tanyanya, memelototi mata cokelat kayu Mortimer. Kalau Mortimer bisa membuatnya tidak nyaman dengan menatapnya dari atas sampai bawah, Űbeltat juga bisa. “Jangan pura-pura tolol. Berapa dari kita yang tersisa?”

Mortimer menggeleng, melepaskan pandangannya pada laut luas. “Kau merasakannya sendiri, Aloysius. Jangan bohong. Empat—itu kalau si wajah sedih ikut dihitung. Tahu ‘kan, si sialan itu yang memb—“ perkataannya terhenti oleh tekanan keras di kakinya. Űbeltat, atau Aloysius, baru saja menginjak kakinya.

“Pelan-pelan, Bodoh!” gerutunya. Lois mendecakkan lidah.

“Yah. Ini daratan, Alois sayang. Udara merambatkan suara dengan buruk. Coba kau bayangkan—menggosip di bawah laut! Air membawa percakapan para duyung sampai jauh. Bukan gosip lagi namanya, kalau seisi Muiridel mendengarnya,” ia tertawa. Untuk sesaat, wanita itu lupa topik pembicaraan mereka sebelumnya. Ia menggeleng. “Nah, jadi apa maksudmu? Pasangan sialan itu sudah mati, terus apa? Kau mau mengajak kita menangisinya?”

Aloysius tercekat. Pasangan sialan... itu Arashi dan Ælfric. Tidak, ia tidak ingin membicarakan soal Arashi.

Namun Ælfric... entahlah. Pria itu seolah ditakdirkan untuk membencinya. Terakhir kali mereka bertatap muka adalah saat pesta minum rum di Etheres, itu pun saat itu mereka hanya berpura-pura akrab. Mungkin karena elf dan falcon tidak pernah akur? Mungkin karena sesuatu yang lebih pribadi?

Tidak, ia sudah melupakan alasannya membenci Ælfric. Meskipun saat Arashi menatapnya, ia seolah diingatkan kembali oleh alasan itu. Aloysius menghela napas, lututnya melemas. Ia benci mengingat-ingatnya lagi. Perkataan santai Lois membuat ruang kecil di dalam otaknya memanas.

Tapi mereka sudah mati.

“Mereka sudah kembali, ‘kan?” tanya Aloysius akhirnya. Suaranya memelan, tanpa bentakan.

Lois dan Mortimer bertatapan sesaat. “Ya, pasti,” wanita itu mengangguk. “Tenang saja, lah. Kita tidak mati semudah yang mereka kira, ingat? Seb—oh, iya, aku lupa. Jangan bicarakan soal “si muka sedih” terang-terangan. Sekarang...” ditatapnya wajah Aloysius dengan matanya yang kuning bercahaya. “Menurutmu... dia sudah ada di Pyrrestia?”

Aloysius mengangguk.

“Tetap tenang, Nak,” Mortimer menepuk bahunya pelan. Bibirnya yang nyaris semerah kersen menyunggingkan senyum lebar, mendorong tindik-tindiknya ke samping. “Kau akan mengetahuinya begitu kau melihatnya. Kalian mengendalikan elemen yang sama, jadi kalian bisa merasakan kehadiran satu sama lain,” katanya simpatik. “Kami harus pergi sekarang. Oh—kuingatkan sekali lagi. Jangan. Panggil. Aku. Grey Froth. Terima kasih.”

Aloysius hanya menatap dengan canggung ketika Lois dan Mortimer perlahan-lahan menghilang di balik permukaan air, berenang kembali ke desa mereka masing-masing. Ia masih memandangi lautan hening itu selama beberapa saat sebelum menghampiri Claws dan terbang meninggalkan pantai.

ElementbenderWhere stories live. Discover now