Empat

44 0 0
                                    

Hujan sejak tengah hari mengguyur Bumi. Angin yang menyertai membuat tetesan air tampak jatuh dengan sudut lima puluh derajat, membuat keberadaan atap stasiun menjadi sedikit sia-sia.

Dinaungi payung, seorang gadis berjalan ke luar stasiun. Dan kembali, takdir penolongnya, mengantar seorang ibu yang juga hendak ke pinggir jalan raya turut bernaung di bawah payung, disusul sedikit basa-basi.

Sang gadis, berbekal petunjuk kawannya dan aplikasi peta elektronik di ponsel, bergerak menuju sebuah pusat perbelanjaan yang telah ditentukan sebagai titik temu.

Dengan dia.

Si tujuh belas yang dirindukannya.

Tapi sekuat apapun ia ingin bertemu, rasanya seakan sedikit sia-sia karena yang ia lakukan sepanjang waktu hanyalah menundukkan pandangan, walau sesekali curi pandang dengan sudut matanya.

Dia merasa belum sanggup menatapnya. Dan ia tahu, setiap orang sifatnya berbeda, termasuk lelaki itu. Maka ia tidak keberatan jika memang ia selalu dipandang selama mereka bertemu, karena sifat mereka berbeda.

Selalu, menjelang penghujung waktu, ada sisi pemberontak yang membuat mereka ingin tetap tinggal. Tapi untungnya logika masih melakoni tugasnya, maka seingin apapun, mereka tahu, mereka harus berpisah.

Sampai nanti mereka diberi waktu untuk bertemu kembali.

Maka kedua anak manusia itu pun mengambil jalan yang berbeda. Yang tersisa hanya degup jantung yang terpacu dan gema kalimat terakhir yang mereka ucapkan ketika berpisah,

"Aku sayang kamu."

171113

Tujuh BelasWhere stories live. Discover now