Enam - Satu

30 1 0
                                    

Sebelas siang, dua orang dua puluhan bertemu. Entah pertemuan yang keberapa. Tidak lagi angka ordinal itu menjadi masalah selama mereka masih bisa bertemu.

Kau tahu, tadinya mereka ingin pergi ke mana? Ke suatu tempat yang berada di kota yang sedang tidak bisa diprediksi kapan hujan dan kapan cerahnya. Akhirnya, daripada mengambil risiko akan ketidakpastian itu, mereka memutuskan untuk bertemu di tempat biasa.

Biasa?

Semacam itulah. Karena mereka tidak selalu bertemu di sana, hanya saja kebetulan tempat itu lebih sering dijadikan tempat bertemu. Pusat perbelanjaan yang selalu dipenuhi masyarakat ketika akhir pekan, terlebih lagi ketika sore dan malam.

Dua anak manusia membaur di lautan pengunjung. Katakanlah mereka mungkin tidak seperti orang biasanya dalam memilih kegiatan ketika melepas rindu. Mungkin biasanya orang lain akan memilih tempat yang mewah, demi menunjukkan harga diri, demi impresi, dan sebut faktor lainnya. Namun mereka lebih memilih, disadari atau tidak, untuk berbeda dengan orang-orang seperti itu.

Pun memilih tempat untuk berbincang, asal bisa duduk tenang dan mengutarakan pikiran masing-masing, itu sudah cukup. Tak perlu ditemani secangkir latte panas atau donat berlapis gula. Mereka sudah cukup senang dengan bisa bertatap muka. 

Ada kalanya obrolan mengalir. Ada kalanya jeda. Di saat jeda, dua puluh dua tak pernah menatap langsung dua puluh satu. Ia memilih untuk memandang ke lantai dasar atau ke televisi yang kebetulan menayangkan film kartun. Ia belum bisa berlama memandang jika tidak ada alasan jelas seperti menyimak apa yang sedang diucapkan lawan bicaranya itu. Belum. Karena ia takut.

Takut?

Hmm... Tak tahu, apakah orang lain sependapat dengannya, tetapi jika ia memandang tanpa alasan, ia yakin ia akan sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri. Sulit untuk melepasnya pergi, sulit untuk tidak menginginkan dirinya terus berada bersamanya. Belum, belum waktunya. Maka itu ia selalu mengalihkan pandangannya pada hal lain. Bukannya ia tak tertarik, justru karena sangat tertarik, maka ia ingin menyimpan pandangan untuknya hingga nanti saatnya ia dapat melihat sosok itu setiap hari.

Kembali pada kegiatan mereka berdua pada hari itu. Memang pada dasarnya mereka memiliki kesamaan kesukaan atau apa, maka tidak ada yang mempermasalahkan pilihan tujuan masing-masing. Sebuah tempat bermain yang menggunakan kartu elektronik sebagai alat bayarnya, ramai dengan anak-anak dan orang dewasa yang ingin menghibur diri atau sekedar menunggu yang sedang bermain.

Kembali ke pujasera untuk mencari tempat duduk yang bebas, beristirahat setelah lelah bermain. Mereka tahu waktu mereka hari itu tak banyak tersisa, maka mereka ingin menghabiskan sisa waktunya dengan apa yang belum mereka lakukan hari itu. Tapi pada akhirnya sama saja: duduk-duduk menikmati waktu yang berlalu.

Meski sedikit, dua puluh dua ingin lebih asertif. Ia tahu jika ia terus menyimpan segalanya sendirian, ia akan menyesal nantinya. Ia ingin lebih dekat dengan dua puluh satu. Maka yang dilakukan adalah berpindah tempat duduk ke yang lebih dekat dengannya. Yang didekati pun bertanya seraya membelai punggung yang mendekat.

"Kenapa?"

Geleng kepala sebagai jawaban, isyarat 'tidak apa-apa'.

"Masih sakit?"

"Sudah nggak terlalu."

Dasar kurang olahraga, mungkin, sekali dihentak, efek sampingnya nyeri di diafragma. Namun hal itu tidak berlangsung lama.

"Kok aku lapar lagi, ya. Mau makan, nggak?" tanya si dua puluh satu.

"Terserah, aku mah ngikut kamu aja."

"Lapar nggak?"

"Nggak terlalu."

Jeda.

"Ya udah, nanti beli satu buat berdua aja. Kamu mau makan apa?"

"Ng," dua puluh dua mengedarkan pandangan, menatap sederetan kios yang menawarkan bermacam makanan, "aku lagi pingin makan mie, sih."

Kemudian tersajilah makanan berbahan mie, tidak butuh waktu lama. Perlahan mereka menikmati masakan itu. Tak peduli apa yang mungkin orang pikirkan ketika melihat polah mereka berdua seperti itu, akhirnya mereka dapat menuntaskan makannya.

Waktu terus bergulir, hingga langit menjadi gelap total, selang waktu tertentu gerimis kembali mengguyur kota itu. Ini saatnya mereka berpisah, kembali kepada keluarga masing-masing. Rangkaian gerbong membawa yang satu, menyisakan lainnya yang tak pernah bisa menghadapi kepergian secara langsung.

Membawa keyakinan esok masih dapat bertemu.

180114

Tujuh BelasNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ