Enam - Dua

37 1 0
                                    

"Belum selesai, jadi minta diundur."

"Sampai kapan?"

"Tadi sih bilangnya minggu depan, tapi belum dibalas lagi."

"Jadi hari ini pulangnya?"

"Iya. Mau ketemu dulu nggak? Kalau iya, aku siap-siap sekarang, kalau nggak, aku berangkat sore dari sini langsung ke tempat travel."

Pertanyaan yang sebenarnya sudah tak perlu dijawab lagi. Jelas sedang terjangkau, mengapa lah tak bertemu.

Waktu yang mempertemukan mereka hari ini tak lebih lama dari kemarin. Tak lebih dari empat jam. Mereka memutuskan untuk mengisi perut dulu di sebuah tempat makan. Kali ini kondisi kesehatan si dua puluh dua kurang baik, sehingga nafsu makannya kurang terbit. Kembali memesan satu sajian untuk berdua, karena porsi makan di tempat ini terkenal sangat banyak. Dan lagi-lagi yang dipesan adalah yang berbahan dasar mie.

Sambil sibuk mengurusi hidungnya yang meleleh, dua puluh dua menikmati perlahan makanannya. Sesekali si dua puluh satu memandangi.

"Tahu nggak, katanya cewek itu kalau lagi sakit lebih moe."

"Hah? Moe mananya?"

"Ya 'kan karena pilek itu, kerepotan. Yang biasanya kuat jadi kelihatan nggak berdaya. Makanya moe."

Tak tahu harus membalas apa, yang sedang kurang sehat mengacak-acak sedikit sayuran di piring dengan garpu. Dapat dirasakan sebuah elusan di kepalanya, dan itu membuatnya tenang seperti anak kecil yang dielus orangtuanya.

Ia sungguh ingin membalas. Ingin, ingin. Tapi gengsinya mengendalikan egonya, hingga akhirnya yang dilakukannya adalah diam menahan perasaannya. Ia tak suka jadi pusat perhatian, maka ia memilih diam. Ini belum menjadi sesuatu yang pantas diumbar.

"Belum ada kabar dari yang ngajak ketemu?"

Ponsel tipe lama dikeluarkan dari tasnya. Ia mengintip bagian layarnya. "Belum."

"Kok telat, sih. Padahal janjinya kan jam segini."

Sebuah pesan masuk. "Eh, katanya dia bakal telat."

Yang tadi bertanya ikut membaca. "Itu sih, bukan sedikit telat. Emang udah telat."

"Yaudah, habis ini kan aku nganter kamu dulu ke stasiun. Dia juga rumahnya jauh, jadi mungkin masih lama."

Ah, ya, mereka tak punya banyak waktu lagi.

"Jalan lagi, yuk," ajak si dua puluh satu.

"Mau ke mana?"

"Ya, ke mana, kek. Jadi mau foto, nggak?"

"Ya, udah."

Dan hasilnya, empat gambar dari delapan yang diambil. Mungkin yang normal hanya satu. Sisanya? Terserahlah mau dibilang apa. Dan mulai detik gambar itu tersimpan di dompet, tak akan lagi si dua puluh dua dapat mencabut lembaran alat tukar tanpa mengingat yang ada di gambar itu.

Kembali stasiun menjadi saksi perpisahan mereka. Kali ini untuk waktu yang lebih lama, hingga nanti Februari kembali mempertemukan.

"Kalau hujan tunggu sampai berhenti ya. Jangan diterobos."

Angguk. "Iya."

Pengeras suara stasiun menyampaikan informasi bahwa kereta yang akan dinaiki sudah hampir memasuki stasiun. Dua puluh satu bangkit dari duduknya di kursi peron, membelakangi rel, menatap dua puluh dua yang masih duduk dan mengusap kepalanya.

Yang masih duduk menarik yang lain untuk mendekat, kemudian menyandarkan kepala padanya yang berdiri membelakangi rel. Alasan pertama adalah ia merasa sakit kepala karena sepertinya sakitnya berkembang. Alasan kedua adalah ia ingin merasakan jarak terkecil antara mereka berdua, untuk saat itu.

Sekali saja, ingin lebih dekat.

Tapi hanya sebatas itu. Masih ada batasan yang belum boleh dilangkahi. Sementara kereta sudah membuka pintunya, dua anak manusia itu dengan berat hati berpisah. Tiga belas hari, atau mungkin kurang, hingga akhirnya nanti mereka bertemu lagi di satu kesempatan.

Tak pernah bisa menatap yang meninggalkannya pergi, sang pengantar keluar dari stasiun, berharap mereka dapat bertemu lagi.

190114

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 20, 2014 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Tujuh BelasWhere stories live. Discover now