TENGGELAM

819 8 0
                                    

Kabar buruk itu datang bersama angin yang menderu sebelum hujan jatuh.

Tak lama berselang, hujanpun jatuh tercurah begitu deras mengguyur permukaan bumi berbarengan dengan tangisku yang pecah.

Bagai sesosok Dementor, kabar buruk itu tetiba menghampiri, lalu ia mendekati wajahku kemudian menghisap tiap jengkal kegembiraan dalam nadiku. Aku luluh lantah dibuatnya.

Sudah kupilin seribu satu sumpah serapah paling menyakitkan dan paling nista dalam lipatan memoriku, untuk nanti ku gelontorkan di depan wajahnya. Wajah sang penghianat yang tiap sudutnya sudah belasan tahun kuhapal di luar kepala.

Emosi memang selalu menang telak mengalahkan logika jika ia sedang berkuasa.

Hatiku bergejolak. Sambil menyeka air mata, kubuka kembali surat elektronik yang datang bersama kabar buruk tersebut. Tangan kananku sibuk menggeser dan meng-klik piranti tetikus, sementara tangan kiriku gemetar menahan emosi sembari memuntir-muntir gemas ujung daster batik berbahan katun yang menjadi pakaian kebangsaanku sehari-hari.

Foto demi foto kususuri sambil sesekali menyeka air mata. Sang pengirim surat elektronik misterius itu sepertinya secara diam-diam mengambil foto-foto tersebut dalam beberapa kesempatan dan waktu yang berbeda. Foto-foto itu adalah foto suamiku dengan seorang perempuan muda.

Selingkuh.

Setidaknya itu yang dapat kusimpulkan dari kemesraan yang terpancar oleh mereka berdua lewat deretan foto tersebut.

Parade foto paling menyakitkan dalam hidupku.

Ku pelototi terus wajah perempuan sintal berambut panjang yang tersenyum genit dalam dekapan suamiku. Aku seperti masokis pemuja kesakitan. Mataku nanar terus-menerus menatapi foto itu satu persatu, kendati dada ini perih seperti dirobek sembilu.

Otakku bepikir keras, gerangan apa yang salah dalam biduk rumah tangga yang telah aku jalani belasan tahun dengannya. Pemicu apa yang mengakibatkan suamiku tega mengingkari janji setia kami berdua. Apakah ini jawaban dari malam-malam panjang penuh pertengkaran antara aku dan suami pada waktu-waktu tertentu?

Bak layar film yang diputar mundur, pikiranku seperti menampilkan kembali saat-saat kebersamaanku dengan suami. Layaknya sebuah film bisu dengan aku dan suamiku sebagai pemeran utamanya.

Namun Margaret Atwood– sang penyair terkenal dari Kanada itu– pernah bilang, perang terjadi jika perkataan lisan gagal dipahami. Maka itu, satu-satunya jalan untuk meluruskan masalah rumit ini adalah mengkonfrontasikannya dengan suamiku.

Ya, akal sehatku mulai menguasai laju pikiranku kembali. Mungkinkah aku yang memberi celah pada orang ketiga sehingga dengan mudah ia masuk dan mengusik rumah tangga kami? Entahlah...

Untungnya Adinda, anak semata wayangku sedang tidak ada di rumah. Jadi Ia tidak perlu mesti menyaksikan bundanya remuk-redam bersimbah air mata kepedihan.

Suamiku pulang selepas hujan reda.

Udara malam yang dingin beserta semilir angin setelah hujan tak mampu menghantarkan kesejukan dalam hatiku.

Aku menunggunya di meja makan seperti hari-hari sebelumnya. Kelar dengan rutinitas mandi sorenya, suamiku tak lama menghampiri meja makan dan mulai duduk untuk menyantap makan malam bersama.

Aku mencoba berdamai dengan gejolak emosi sedapat mungkin. Kutanyakan kabarnya di kantor hari ini. Ia bertanya balik tentang keberadaan Adinda yang tak ia dapati sosoknya sore ini di rumah.

Kutunggu sampai perutnya terisi penuh. Lalu...

"Dari mana kamu dapat foto-foto ini?" wajahnya berubah pias seketika manakala ujung jari telunjukku mendorong sebuah foto yang sengaja aku cetak, ke hadapannya.

"Tak penting darimana sumbernya, namun sebagai istri yang mencoba berprasangka baik, aku memberimu kesempatan untuk memberikan penjelasan"

Nada bicaraku setenang laut lepas, namun sedingin es dari Kutub Utara.

"Aku...sangat menyesal kamu mesti tahu dengan cara seperti ini" Laki-laki dihadapanku meraup wajahnya lalu menghela napas panjang.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin membicarakannya" Sambungnya kemudian sambil menyandarkan tubuhnya. Ketegangannya perlahan mengendur. Ia menatapku lekat-lekat, sementara aku menatapnya balik dengan tatapan seakan ingin melubangi tempurung kepalanya.

"Sudahlah! Tak perlu berbelit-belit. Apa maksud pembicaraanmu?!"

Suaraku naik satu oktaf. Tak sabar rasanya mendengar preambul dari sebuah penjelasan yang sejak tadi siang kutunggu kepastiannya.

Ada jeda di antara kami, sejenak.

"Aku ingin kita berpisah" Ujar suamiku sambil menunduk.

Hatiku seketika serasa tenggelam dalam bumi.

Walau hati ini sudah kupersiapkan sedemikian rupa, nyatanya kalimat pendek tadi tetap mampu mengoyaknya. Aku terus mendaras doa-doa pada Tuhan untuk memberikanku kesabaran seluas samudera.

Tak berapa lama, kukuatkan diri untuk berdiri dan berjalan ke kamar. Kutarik koper mungil yang telah kusiapkan untuk skenario terburuk dalam hidupku, lalu meraih beberapa sisa benda milikku yang bakal kubawa besertaku.

"Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu mas, dan tunggu gugatan cerai dariku"

Sambil menyeret koper, langkahku mantap menuju pintu teras rumah. Ada secercah damai yang kurasa beserta jawab yang selama ini sebenarnya kucari.

Biarlah. Biar kami bercerai untuk mencari damai.

-Depok, 2016-

ANTOLOGI HATI; Kumpulan CerpenWhere stories live. Discover now