8 : Suara Malaikat

534 65 33
                                    

Naya tampak tak bersemangat mengikuti pelajaran pagi ini. Beberapa kali ia menguap dan tidak fokus mendengarkan materi pelajaran Biologi yang disampaikan guru wanita berkacamata di depan kelas. Meskipun matanya memperhatikan guru berbadan tambun itu, tapi pikirannya melancong kemana-mana. Masih diingat dengan jelas bagaimana kemarin ia diperlakukan layaknya babu.

Membersihkan segunung sampah di lapangan sepak bola?. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya ia akan berakhir dengan memungut bungkus makanan ringan dan botol plastik. Itu bukan tugasnya, itu tugas pegawai kebersihan yang sudah digaji sekolahnya untuk membuat area sekolah tetap bersih. Tapi, hari itu tak ada seorang pun pegawai kebersihan yang terlihat. Ia menduga pasti mereka sudah kongkalikong dengan cowok psikopat, Elang. Dan kegiatan 'mbabu' itu membuat Naya pulang terlalu sore.

Baiklah, mungkin selama ini dia memang kebanyakan bekerja seperti babu. Melayani pelanggan toko, tamu-tamu di acara pesta, sampai menjadi kurir barang pernah ia lakoni. Tapi pekerjaan itu dilakukannya dengan sukarela dan yang paling penting dapat uang dari hasil kerjanya. Tidak seperti hari kemarin, diperintah sana sini tanpa upah, bahkan dengan paksaan hanya gara-gara ia tidak sengaja membuat seseorang gagal kabur dari acara pesta. Ia tidak bisa mengerti, hanya gara-gara hal sepele semacam itu harga diri dan beasiswanya mungkin saja dipertaruhkan. Ia sering bertemu orang kaya semacam Elang dan menurut Naya golongan mereka selalu berbuat semena-mena.

Dasar orang kaya! Selalu aja seenaknya sendiri mentang-mentang punya banyak duit, gerutunya dalam hati.

Naya menopang kepalanya yang entah kenapa tiba-tiba terasa pusing memikirkan peristiwa hari kemarin adalah awal dari penderitaannya. Ah, betul, ia sampai lupa menanyakan sampai kapan ia harus menuruti Elang.

"Psst... Nay? Kamu sakit? Pusing?"

Bisikan itu membuat Naya mengalihkan pandangan dari buku di atas mejanya ke arah Dini yang duduk di sampingnya. Dini menatap penuh arti, terlihat jelas raut wajahnya itu menunjukkan kekhawatiran. Naya menggeleng lembut dan tersenyum samar. Membuat Dini mencebikkan bibir tanda tidak percaya. Dini memiringkan tubuhnya sedikit ke samping.

"Kalau sakit ke klinik sekolah aja. Izin sama Bu Dewi," bisik Dini yang kemudian kembali ke posisinya semula.

Naya menggeleng lagi, kali ini lebih mantap. "Tenang aja. Aku nggak papa kok, Din."

Gelengan mantap Naya membuat Dini mengangguk sekilas dan kembali mengalihkan perhatian ke arah Dewi, guru biologinya yang mengajar di depan kelas.

Naya terkesiap. Ia merasakan getaran ponselnya di saku jas. Siapa yang mengiriminya pesan di jam-jam pelajaran seperti ini?. Naya mengembuskan napas panjang ketika mengingat seseorang.

Apa yang diinginkan cowok psikopat itu lagi? batinnya. Firasat Naya mengatakan bahwa pesan itu dari Elang. Naya berdecak kesal, ia melirik jam dinding di atas pintu masuk kelas, lima menit lagi bel istirahat pertama berbunyi. Naya hanya berharap jam istirahatnya tidak akan terganggu karena hukuman konyol Elang berlanjut. Ponselnya bergetar lagi, lagi, lagi, sampai tiga kali.

Dia ngirim apaan sih? Kirim aja sebanyak yang kau suka! Aku nggak akan membacanya, batin Naya.

Krringggg!!! Beberapa menit kemudian bel istirahat pertama berbunyi.

Setelah Dewi menyelesaikan salam penutup, Naya membereskan buku-bukunya.

"Ke kantin kan, Nay? Kita nemenin Hara sarapan," ujar Dini. Naya mengangguk. Sejenak ia berpikir untuk mengecek ponsel, kali saja firasatnya salah dan pesan itu dari orang tuanya. Naya merogoh saku jasnya dan mengecek ponselnya. Benar, ada empat pesan Whatsapp dari nomor Elang. Ia sengaja tidak menyimpan nomor Elang, dibiarkan begitu saja, sehingga tampak nomor asing yang tertera di obrolan Whatsapp-nya.

Jewel In The King's HeartWhere stories live. Discover now