tiga

1.5K 170 1
                                    



Jimin tidak perlu taburan bintang atau menunggu bulan sedang sabit untuk membuat malamnya sempurna. Tak perlu segelas cokelat hangat dan selimut tebal untuk membuatnya tetap nyaman. Baginya, dapat melihat sosok mungil Yoongi bergelung dalam tumpukan selimut di atas ranjangnya, mendengkur halus dengan napas teratur dalam tidurnya, serta merengut lucu karena mimpi buruk adalah hal paling sempurna dari sekian juta malam yang pernah ia lewati. Ia tidak bisa berhenti mengulas senyum meskipun sudut bibirnya terasa kebas sekali pun. Tidak bisa tidak jahil untuk sekadar menyentuh ujung rambut Yoongi yang meluruh di atas keningnya, atau mengusap ibu jarinya di atas pipi gembil Yoongi. Bahkan sesekali Jimin berusaha merapatkan celah kecil di mulut Yoongi dengan jari telunjuknya, lalu terkekeh ketika melihatnya kembali terkuak.

Jimin sudah mengenyahkan bantal-bantal yang disusun Yoongi sebagai batas teritori antara sisinya dan Jimin—sejak pemuda manis itu jatuh terlelap lima belas menit lalu. Yoongi mungkin akan menendang ulu hatinya lagi kalau tahu ia dekat-dekat begini, tapi Jimin sepertinya sudah sangat persetan. Lihat saja bagaimana aksi nekatnya yang tengah mengelus-elus pipi tembam Yoongi, juga jarak yang tak lagi ada arti antara tubuhnya dengan tubuh Yoongi. Toh, Jimin pikir kemarin malam mereka bahkan bisa lebih intim dari ini. Dasar tukang cari kesempatan.

"Yoongi-ah." Bisiknya, tepat di depan bibir Yoongi, "Gomawo."

Yoongi bilang suara Jimin itu manis dan menggemaskan. Yoongi bahkan berkata ingin membuatkan Jimin lagu suatu hari nanti—yang entah kapan terealisasi. Yoongi ingin Jimin mengisi musiknya dengan suaranya. Yoongi ingin menciptakan lagu khusus untuknya. Tidakkah ia tahu Jimin hampir saja kena serangan jantung saat tiba-tiba Yoongi bilang begitu padanya? Tapi, kemudian Yoongi memberikan sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar menciptakan lagu untuknya, yang membuat Jimin merasa jauh lebih bahagia. Adalah ketika Yoongi datang padanya malam itu dan meluapkan semua kesedihannya. Pada Jimin. Hanya padanya. Menghambur ke dalam pelukannya seperti balita yang haus kasih sayang. Lalu kemudian tertidur lelap dengan sisa tangis dan kelegaan. Jimin tidak bisa lebih senang dari ini, ketika tahu ternyata Yoongi percaya padanya. Percaya untuk membagi kesedihan padanya.

"Hyung tahu tidak, bicara dengan ayahmu itu sangat menakutkan." Jimin bergidik ngeri ketika mengingat suara ayah Yoongi yang berat dan tegas saat ia menghubunginya beberapa saat lalu. "tapi kalau aku ikutan menagis sepertimu kan nggak lucu." Kini kekehan terselip di antara napasnya yang memberat. Jimin sudah agak ngantuk sebenarnya.

"Terus kita nangis berduaan, hehe. Yang ada kamu langsung diseret pulang ke Daegu."

Tangan Jimin terangkat untuk menyelipkan rambut Yoongi ke belakang telinga. Lalu tersenyum lemah. Yoongi itu cantik sekali jadi laki-laki, sampai-sampai Jimin heran sendiri. Padahal Yoongi punya kakak laki-laki yang badannya tinggi besar dan wajahnya tegas. Kenapa hal itu tidak menurun padanya? Masa' gen ibunya lebih dominan? Lucu sekali.

"Kubilang apa, ayah cuma mau gertak kamu. Eh, kamunya mewek duluan."

Cubitan kecil di pipi agaknya membuat tidur Yoongi sedikit terusik. Hingga akhirnya, dengan gerakan lemah kepala itu berpindah semakin merapat pada leher Jimin. Oh yeah, Jimin sih senang-senang saja—asalkan Yoongi tidak tiba-tiba bangun dan mengamuk padanya. Kemudian Jimin menangkup bahu sempit Yoongi dan mengelus punggungnya teratur.

"Ugh, dasar bayi besar."

Tak lama berselang, kantuk pun semakin menderanya. Jimin tertidur dengan tubuh Yoongi yang bergelung nyaman di dalam pelukannya.

.

.

.

Pertemuan pertama mereka terjadi di apartemen Taehyung dua tahun lalu. Yoongi datang dengan dua kantung belanjaan penuh sayuran dan daging—melewati pintu depan dengan suara klik tanda kombinasi password yang ditekan sempurna. Jimin baru saja keluar dari kamar mandi sehabis membasuh wajah dan menyikat gigi, lalu menemukan sosok mungil itu berdiri memantung di depan konter dapur, menatapnya dengan pelipis berkedut dan mata memicing tajam. Jimin tak kalah heran dengannya.

My PainkillerWhere stories live. Discover now