Satu

12 0 0
                                    

*Flashback on*

Pertengkaran itu masih jelas menghantuiku. Meninggalkan bekas trauma bagiku. Orang tuaku bertahan pada egonya masing-masing. Kokoh pada pendapat pribadi bahwa yang mereka lakukan adalah yang terbaik.

Entah tidak bisa memandang dari sisi yang lain atau memang tidak mau. Dan akhirnya aku yang menjadi korban, harus menelan pahitnya pertengkaran mereka. Bahkan melihat dengan nyata bahwa pertengkaran itulah yang menyebabkan aku kehilangan Bundaku.

“Kamu tuh gak bisa ngerti ya, Mas? Aku tuh capek mas! Harus ngurus butik, harus bebenah rumah. Lah kamu enak-enakan pulang kantor tinggal makan, lempar sepatu, tas, baju. Coba deh kamu rasain capeknya jadi aku! Jangan pulang kantor bisanya cuma marah-marah doang! Kalo kesel di kantor jangan di bawa pulang!” bentak Bunda.

“Halah! Aku juga capek tau gak? Di kantor banyak masalah. Kamu jangan nambah-nambahain masalah aku dong! Marah-marah terus bisanya!” balas Ayah dengan emosi.

“AH! Terserah kamu lah, Mas!” Bunda berlari pergi ke luar rumah dan menyetop sebuah taksi yang lewat.

Ayah pun berlari mengejar Bunda. Aku yang berusia dua belas tahun ikut mengejar kedua orang tuaku ke luar rumah. Tak disangka, tepat di tikungan dekat rumahku, taksi yang Bunda tumpangi oleng karena menghindari sebuah sepeda motor yang berkecepatan tinggi dari arah yang berlawanan.

BBRRRUUKKKK!!!!!!!!! Taksi itu membentur pembatas jalan.

“BUNDAAAAAAAA!!!!!!”

*Flashback off*

***

Air mataku menetes. Ku lempar lagi sebuah kerikil dan tampaklah sebuah gelombang di permukaan air. Berharap bahwa kerikil itu akan hilang bersama dengan kesedihan yang terus melandaku.

Namun sayangnya, setelah lima tahun -aku melakukan hal yang sama- tetap saja trauma itu menggelayuti diriku.

Aku iri pada keadaan sekitarku, gelak tawa bahagia tercurah dari setiap keluarga yang ada di taman ini. Menghabiskan hari Minggu sebagai waktu yang sangat berharga bagi mereka. Sedangkan aku selalu terduduk di sini, di tempat ini.

Tepat di pinggir danau dan hanya bisa merenung merindukan keluargaku yang dulu. Keluargaku yang sama bahagianya dengan keluarga yang saat ini sedang aku irikan. Keluargaku yang utuh.

Semilir angin lembut menerpa wajahku. Membuat anak-anak rambutku menari dengan indah. Senja mulai tiba.

Aku mengayuh sepedaku dengan santai. Walaupun senja menjelang, tak ada gundah dihatiku bahwa akan ada seseorang yang menungguku dirumah. Hanya ada Bi Ami di rumah -yang mungkin juga tak akan bertanya karena ia sudah hafal denganku- . Ayahku? Jangan kau tanya. Dia sedang sibuk dengan bisnisnya, demi masa depanku katanya. Entahlah.

Pagi ini aku menuju ke makam Bunda. Aku merindukannya. Aku mampir sejenak di sebuah toko bunga untuk membeli setangkai mawar putih yang akan aku bawa ke sana. Setelah tiba, aku membersihkan daun-daun kering di pusara Bunda.

Kemudian aku meletakkan setangkai mawar putih yang aku bawa. Aku pun memanjatkan doa kepada Sang Kuasa.
Sepulang dari makam Bunda, aku mencari beberapa bahan untuk OSPEK minggu depan. Memang masih ada waktu yang panjang,  tapi setidaknya mencicil tidak  apa-apa kan? Sudah hampir 3 bulan aku hanya menjadi pengangguran, jelas saja ini menyenangkan bagiku. Menyiapkan sesuatu untuk kegiatan OSPEK di sekolah baruku. Universitas. Ya, aku seorang mahasiswi sekarang.

Last PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang