Chapter 1

408K 16.1K 1.2K
                                    

(disclaimer : Chapter 1 has been revised on Aug 6, 2020 - all inline comments has been moved into comments section below)


To love someone is nothing,

To be loved by someone is something,

But to be loved by the one you love is everything.

-Bill Russell-



Aku menekan tombol volume up di layar Spotify sambil menatap jauh ke pemandangan di luar jendela ruang kantor yang berada di lantai 28. Jam sebenarnya sudah menunjukkan pukul delapan malam tapi aku masih bergeming dari ruangan. Beberapa pegawai masih di cubicle-nya masing-masing, mungkin sedang dikejar deadline yang biasanya berupa adhoc Direksi. Untungnya, pegawai di divisiku semuanya udah pulang ke rumah masing-masing sejak satu jam lalu. Thank God, itu membuatku jadi punya me-time kayak gini, walaupun di kantor.

"Permisi, Bu Alya."

Aku membalikkan badan dan melihat pramubakti kantor berdiri di depan pintu yang terbuka setengah. "Ya Mas?"

"Mau pesen makan malam, Mbak?"

Aku melirik jam tanganku sekali lagi. "Nggak deh, Mas. Saya bentar lagi pulang, kok. Makasih ya," ucapku tersenyum dan akhirnya memutuskan untuk membereskan barang-barang. Beside, I won't get anything by sitting here at this time. Aku berjalan keluar, pamit ke beberapa pegawai yang masih sibuk dan menekan tombol Ground saat memasuki lift.

"Wait, wait!" Teriakan yang nggak kelihatan wujud pemiliknya siapa itu membuatku spontan menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka. Tapi, walaupun aku gak liat orangnya, aku hapal pemilik suara itu. Benar saja, detik berikutnya Arga memasuki lift sambil cengar-cengir. "Al, kok tumben cepet pulang?" tanyanya dengan nada setengah mengejek.

"Bawel lo, Ga." Aku memutar mataku ke arahnya. "Ini namanya dedikasi."

"See? Orang yang kalau nggak salah pagi-pagi tadi nge-chat gue kalau dia pengen resign aja rasanya gara-gara kena semprot bos, sekarang ngomong dedikasi. Situ Best Employee ya pasti? Engaged banget sama kantor." Arga makin gencar menggoda, membuatku akhirnya cuma bisa memasang wajah bete dan mendengus ke arahnya.

Kenalin, yang bawel ini namanya Arga. Temen, lebih tepatnya sahabatku sejak pertama kali bergabung di Wide Nation Bank. Waktu itu dia masih di divisi yang sama denganku, Credit Risk. Baru tahun lalu akhirnya dia mutasi ke group lain yaitu ke Transaction Banking, yang sialnya masih di lantai yang sama, beda wing gedung doang.

"Udah makan belom lo?" Si bawel bertanya lagi.

"Belom."

"Shaburi, yuk. Gue lagi pengen makan banyak nih," tawarnya.

"Ya udah. Tungguin gue di depan Tory, ya."

Aku keluar dari pintu lift bareng Arga, clock out di mesin absen dan turun ke basement tempat mobil kami berdua terparkir. "You know, you look a bit stupid right now."

Masih sambil nyengir, Arga menatapku. "Ckck, mulut ya Alyanata. Kejam banget sih, gue dikatain stupid tanpa alasan."

"Gak usah sok teraniaya gitu ekspresinya. Lagipula itu ada alasannya, kok. Sejak tadi lo cengengesan kayak orang bego. Ya iya sih lo emang orangnya too cheerful tapi kayaknya dosis lo sekarang terlalu banyak. Gue gak bisa nampung, takut ketularan bego." Aku mengeluarkan kunci mobil dari dalam tas dan membuka pintu mobil. Arga ngelakuin hal yang sama.

Retrocession (PUBLISHED)Where stories live. Discover now