Chapter 5

158K 11.5K 909
                                    

PRADITYA

"Dit, ada janji lunch gak?"

Suara Ryan diikuti dengan sosoknya yang melangkah masuk tanpa mengetuk dan bahkan permisi—as usual—bahkan nggak berhasil mengalihkan perhatian gue dari dokumen yang sedang gue baca. "Nope. Mau kemana?" gue bertanya tanpa mengangkat wajah.

"Bottega?" Ryan menyebut salah satu tempat makan yang sering gue dan dia kunjungi di bilangan SCBD.

"In ten minutes," gue mengangguk sekilas. "Tanggung," lanjutku yang dijawab dengan anggukan santai dari Ryan. Setelah memastikan bahwa tidak ada yang salah di laporan yang gue baca tadi, gue akhirnya menutup folder dan berdiri sambil meraih jas yang tersampir di belakang kursi. "Lo yang nyetir, ya."

Ryan mengangguk setuju. Tidak sampai dua puluh menit kami udah duduk di salah satu meja Bottega. Jarak antara kantor dengan resto yang kami tuju memang nggak begitu jauh. Lima belas menit pakai mobil juga udah sampai, apalagi kalau berangkatnya sebelum setengah dua belas siang. Untungnya saat itu belum terlalu ramai jadi gue ama Ryan bisa mendapatkan posisi meja yang cukup nyaman.

"By the way nih, Dit..." Ryan membuka obrolan ketika selesai memesan makanan. "Yang di marathon kemarin, Alya... orang WideNation kan ya? Kenal dimana?" Udah gue duga, cepat atau lambat makhluk ini bakal nanya tentang Alya. Soalnya keliatan banget dia demanding penjelasan dari gue sejak event marathon seminggu lalu. Ryan sebenarnya udah pengen nanya ke gue begitu kami finish, tapi karena efek abis lari empat puluh something, we're not in the right mind... dan karena dia harus balik sore itu, sementara gue dan Randy stay selama seminggu, alhasil gue ama Ryan baru ketemu lagi siang ini.

"Temannya Arga, teman SMA gue yang kapan hari gue sempat bilang," gue menjawab ringan. "Kenal di engagement partynya Arga itu."

"Cantik banget," komentar Ryan. "Udah punya pacar?"

"As far as I know belum ada any kind of ring di jari manisnya sih..."

"Itu gue juga tau!" Ryan mendengus. "Pacar?"

"Gue baru ketemu dia sekali. Dua kali di Bali kemarin. What do you expect?" Gue mengangkat bahu, clueless.

"Oh ya?" Ryan terlihat terkejut dengan ucapan gue. Kenapa lagi nih anak? Apa yang salah dengan kalimat gue barusan emang? Gue menaikkan sebelah alis ketika cengiran kecil muncul di wajahnya. "Kok kelihatannya akrab banget?"

"Akrab pala lo peyang," giliran gue mendengus. Ingatan gue kembali di saat Alya dan mau gak mau bikin gue tersenyum geli. Okay, gue tau gue mungkin rada-rada nyebelin waktu ngegantung kalimat gue saat itu. Jujur waktu itu gue juga lagi out of control, gue tanpa sadar ngucapin hal yang ada di pikiran gue tanpa gue filter lebih dulu and I really feel bad about it. Tapi yang bikin gue tersenyum saat ini adalah karena mengingat ekspresi Alya. Di saat dia ngomong, gue bahkan langsung bisa mendeteksi sarcasm dan annoyance di dalam suaranya padahal ekspresi dan gerak geriknya justru sebaliknya—classy dan cenderung tidak terpengaruh sedikitpun.

"Kenapa lo senyum-senyum mesum?"

"Heh," gue mendelik. "Otak lu yang mesum!"

"Yeah... yeah..." Sial, ekspresi yang ditunjukin oleh Ryan justru sangat kontras dengan ucapannya. "At least gue tau lo kepikiran. Gue paham sih. Susah emang untuk nggak mikirin cewek cantik seperti Alya. Tapi kok lo bisa keliatan udah akrab gitu sih? Bukannya lo bilang ketemunya di acara temen lo? It's just... a week ago, right?"

"Seat gue kebetulan di samping dia waktu gue flight ke Denpasar. Jadilah gue ngobrol dikit-dikit. Not even as close as you think."

Ryan mengangkat sebelah alisnya sambil menatap gue dengan sangsi. "Lo udah ketemu dia dua—tiga kali bahkan—dan lo belum bikin first move sama sekali?? For real??"

Retrocession (PUBLISHED)Where stories live. Discover now