Chapter 3

141K 11.6K 436
                                    

(disclaimer : Chapter 3 has been revised on Aug 7, 2020. All inline comments have been automatically moved into comment section below)



ALYANATA

"Gue pikir gue gak ketemu lo lagi. Gue surprise lo masih baik-baik aja sampai sekarang padahal gue pikir lo udah gantung diri."

Aku otomatis melempar gulungan tisu ke arah Fanny yang nyerocos dengan mulut nyablaknya itu. "Gue gak segitu desperate-nya kali."

"Mungkin kalau akad nikah kali ya?" Kampret emang sahabatku satu ini.

"Fan, gue baik-baik aja, hellaaaw!" Kugoyang-goyangkan tanganku di depan wajahnya sambil memutar mata.

Okay, kuakui itu tidak sepenuhnya benar. Tapi tidak sepenuhnya salah juga. Kalau boleh jujur, aku memang menangis habis-habisan sepulang dari acara itu. Bahkan hari Sabtu dan Minggu hanya kuhabiskan di apartment tanpa melakukan apapun yang berarti. Setiap kali ingatanku melayang ke suasana pesta pertunangan itu ditambah lagi dengan memoriku bersama Arga, yang bisa kulakukan hanya menangis. Namun seperti yang tadi aku bilang, setelah itu semua, ada satu bagian dimana aku merasa aku seharusnya bisa kembali baik-baik saja.

Mungkin salah satunya adalah aku harus berterima kasih ke pria yang mengajakku berbicara di gazebo. Pria yang meskipun pada awalnya sempat kutanggapi dengan dingin namun ternyata cukup membantuku merasa lebih baik. Berbicara dengannya membuat perhatianku benar-benar teralihkan. Hari itu ketika akhirnya kami kembali ke ballroom, ia langsung mengajakku ke stand makanan dan memesan sop buntut. Di saat prosesi tukar cincin dilakukan, ia bahkan dengan santainya asyik menyantap makanannya seakan-akan hal itu lebih penting dibanding menyaksikan acara inti dari dekat. Ketika kutanya apakah ia ingin maju ke depan untuk melihat lebih jelas, ia menggeleng dengan santai.

"Sayang. Sop gue masih banyak. Lagipula udah cukup rame. Gak enak juga nyelak kerumunan sambil pegang mangkuk gini."

Dan dia bahkan tidak bertanya ketika aku memutuskan melakukan hal yang sama. Berdiri di sampingnya dan memusatkan perhatian ke mangkuk di tanganku. Ia bahkan mengajakku mengobrol hal-hal ringan, yang membuatku lupa akan prosesi yang tengah berlangsung. Bahkan sampai acara selesai, kami bahkan tidak lepas mengobrol, meskipun sesekali disela oleh kenalan masing-masing yang menyapa kami, namun setelahnya ia akan lanjut mengajakku mengobrol lagi—yang aku sama sekali tidak keberatan. Puncaknya adalah ketika Arga dan Karin meminta untuk foto bersama. Setelah foto dengan orang WideNation, pasangan itu meminta foto sekali lagi khusus denganku. Beruntung saat itu, Radit menghampiri kami untuk berpamitan sehingga akhirnya aku punya alasan untuk mengajaknya ikut foto. Setidaknya, aku merasa lebih baik untuk foto berempat dibandingkan hanya bertiga.

"Ngelamun, woi?" Fanny menjetikkan jarinya di depan wajahku diikuti dengan dengan tatapan penuh selidik. "Gue takjub aja lo bisa keluar hidup-hidup dari acara itu. Di saat gue nggak ada buat nemenin lo."

"Gini-gini gue kuat, tau."

"Berdasarkan laporan pandangan mata gue, lo ngobrol lama sama seseorang. Cowok."

"Ya iyalah gue ngobrol dengan orang-orang. Rata-rata kan orangnya gue kenal dan mereka nyapa gue. Ya kali gue gak balas sapaan mereka dan basa basi dikit," jawabku sewot.

"Bukan. Kata mata-mata gue, ada cowok hot banget yang temenin lo ngobrol. Lama. Bahkan pas foto, lo gak sendirian bareng mereka. Berempat, sama cowok itu." Fanny mengeluarkan seringainya. Gila, serem banget. Nyaingin badut IT. "Sayang gue belum nemu hasil fotonya sampai sekarang. Mata-mata gue berkali-kali nyebutin kata 'hot'. Bikin gue jadi penasaran."

Retrocession (PUBLISHED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang