10 - Minta Maaf

6K 1K 26
                                    

Bunyi alarm yang berteriak nyaring membangunkan Katrin yang sedang tertidur lelap. Diambilnya jam kuning berbentuk emoji smile yang terletak di atas nakasnya itu. Jarum panjang menunjukkan angka 6 sedangkan jarum pendeknya, tak jauh dari angka itu juga. Sontak, mata Katrin yang tadinya masih setengah terpejam, langsung terbuka lebar.

"Setengah tujuh!" teriaknya. Dan dengan gerakan super cepat, dia langsung bangkit dari tidurnya dan ngacir ke kamar mandi.

Katrin mandi dengan terburu-buru. Memakai baju, menyiapkan perlatan sekolah, dan berlarian di anak tangga dengan waktu yang ia usahakan seminimal mungkin. Dia bahkan nyaris saja terjungkal karena tersandung kakinya sendiri. Untung saja, kesimbangan tubuhnya pagi ini cukup baik.

Di ruang makan, mama Katrin ngomel-ngomel karena kebiasaan Katrin yang mengunci pintu sehingga nggak ada orang yang bisa masuk ke kamarnya untuk membangunkannya di pagi buta. Katrin tak memedulikan, dia hanya mencomot roti dan langsung mengenakan sepatunya dan meminta Papanya untuk segera mengantarnya. Dia bahkan nggak sempat mengepang rambutnya. Jadi rambutnya hari ini ia biarkan terurai begitu saja.

Katrin sampai di sekolah jam tujuh lewat sepuluh menit. Dia telat! Gerbang sekolah sudah ditutup. Kalau saja Katrin nggak ingat hari ini ada ujian lisan Bahasa Inggris, dia bakal bolos saja. Tapi, Pak Ainul, guru Bahasa Inggrisnya tidak menerima ujian susulan. Kalau pun memang nggak bisa hadir, ujiannya bakal diganti dengan tugas yang seabrek. Ya, mending Katrin milih ujian satu hari terus lupakan daripada bikin tugas berhari-hari.

"Pak Amin, bukain gerbangnya dong, Pak. Saya ada ujian, Pak, bentar lagi. Please." Katrin memasang wajah putus asanya pada satpam penjaga sekolah. Karena Pak Amin memang baik dan terkenal gampang dibujuk, Pak Amin pun membuka gerbang dan mempersilahkan Katrin masuk.

Katrin berlarian di koridor. Saking tergesa-gesanya, napasnya jadi tak beraturan. Ketika sampai di depan pintu kelas dan memegang kenop pintu, Katrin menarik napas panjang.

Katrin mengucap Basmallah dalam hati sambil menyiapkan seribu satu alasan agar nggak diomelin pakai bahasa Inggris ala Pak Ainul di pagi hari yang cerah ini.

Ketika pintu terbuka, Katrin cukup kaget. Sosok Pak Ainul nggak ada di kursinya. Teman-teman sekelasnya pun duduknya nggak beraturan. Suasana yang memang biasa dilihat kalau sedang tidak ada guru.

"Katrin, nggak jadi ujian kita. Pak Ainulnya nggak masuk!" Dewi menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran Katrin.

Katrin berjalan ke bangkunya sambil bersungut kesal. "Astaga, gue udah lari-larian kayak orang gila karena takut telat!"

"Nggak papa dong lari pagi, biar kurus," sahut Dewi sambil terkikik geli.

"Emangnya Pak Ainul kemana?"

"Nganterin anak klub debat buat lomba."

Katrin merapikan poni kepanjangannya ke belakang telinga. Kalau tahu begini, mending dia lanjut tidur aja di rumah!

Katrin mengeluarkan ponselnya dari tas. Chat dari Reihan nggak kunjung datang, padahal ia sudah menunggunya semalaman. Apa cowok itu lupa, ya? Atau jangan-jangan Reihan nggak jadi minta tolong? Entahlah. Katrin jadi senewen sendiri memikirkannya.

Sialnya, mengingat Reihan otomatis membuatnya juga teringat Garvin. Katrin mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. Garvin sekarang lagi duduk, atau lebih tepatnya berdiri menyandar di meja Oka yang terletak paling depan. Disana juga ada Bian. Mereka bertiga sepertinya sedang menggobrolkan sesuatu yang seru karena si Oka tampak berceloteh semangat sedangkan Bian dan Garvin menyimak penuh perhatian.

Katrin memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Dia lebih memilih membuka iPadnya.

"Kat, tumben rambut lo diurai gitu aja," komentar Dewi. "Nggak sempet, ya?"

Karena KatrinaWhere stories live. Discover now