Remember to Breathe

3K 538 175
                                    

Mendiamkan Erisha bukan sesuatu yang pernah lewat di pikiran Ale. Gagasan tersebut terlalu mengada-ada dan tidak masuk akal. Sekesal-kesalnya Ale pada cewek itu, mustahil terselip fase saling diam.

Tapi Ale benar-benar tidak punya pilihan alternatif selain menutup seluruh celah komunikasinya dengan Erisha. Karena akar dari permasalahan ini hanya pada Ale, maka komunikasi dua arah sengaja dia hindari.

"Lo bukan Tuhan, Le." Beberapa hari lalu, Ceye dengan tubuh bersandar di kerangka pintu kamar kos Ale, mengatakan hal yang membuat sang pemilik kamar tertegun.

Ceye biasanya datang ke kamar Ale untuk minta pasta gigi, mengomentari koleksi bukunya yang semakin bertambah, atau hal-hal tidak penting lainnya. Tapi kali ini, kemunculan Ceye justru dibarengi dengan pernyataannya yang seketika menikam perasaannya.

"Maksud lo?" tanya Ale datar.

"Lo nggak sempurna, lo bisa aja ngelakuin kesalahan dan memperbaikinya pelan-pelan, bukan semalem kelar."

Ale menghela napas. "Masih tentang Erisha?"

"Bukan, tentang Raymond! Ya Erisha lah, Nyet!"

"Oooh, terus?"

Ceye berdecak jengkel. Bahkan air Danau Toba kalah tenang dari Ale saat ini. Ceye sampai bingung, apa di kamus sahabatnya itu, tenang dan tolol definisinya sama? Habisnya saking tenangnya, Ale jadi serba bodoh begini.

"Gue yang udah coba peduli sama Ladin aja akhirnya sempet putus, kan? Gimana lo yang nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba nggak peduli sama Erisha?" Ceye berkata sengit. Sebelum Ale membalas lagi, cowok itu melanjutkan, "Nggak apa-apa kali, Le, kalau kita nggak baik-baik aja di depan cewek. Nggak apa-apa kalau Erisha tahu lo ternyata kenapa-napa. Lo nggak bakal mati cuma gara-gara kelihatan lemah."

Ale tersenyum masam. Kalau sudah begini, baru terasa sahabatnya yang satu ini memang lebih bisa berpikir secara manusiawi daripada dirinya yang selalu merasa benar.

"Udahlah gue mau cabut. Lo nggak ngumpul sama Lensproject, Le?" kata Ceye lagi.

Ale menggeleng.

"Nah gini kan akibatnya, lo jadi males ngapa-ngapain. Ketemu orang aja males."

"Nggak ada hubungannya, Ye."

"Ada, elah! Nggak usah ngebantah gue. Sekarang lo lebih bego daripada gue," sambar Ceye sebelum pamit dan menutup pintu kamar Ale dengan rapat.

Ale termenung. Ceye benar, dia tidak akan mati cuma gara-gara kelihatan lemah di depan Erisha. Lagipula dengan saling diam begini, bukankah itu kontradiktif dengan keinginannya bahwa harus selalu ada Erisha?

Masih jelas di benak Ale saat Erisha meninggalkannya, Ceye, dan Ladin di kafe setelah mengeluarkan sindiran pedasnya. Erisha memang selalu terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya. Tapi yang kemarin itu, Ale tidak menyangka ketidaksukaan tersebut akan dijatuhkan padanya. 

Erisha pantas marah.

Kalau seseorang marah, maka ada permohonan maaf yang ditunggunya. Benar begitu, kan? Kalau Erisha marah, maka jangan harap dia akan menghubungi Ale. Dia pasti diam saja, menunggu permohonan maaf datang padanya.

Dan itu yang akhirnya Ale lakukan saat ini.

Sabtu pagi, Ale memutuskan menelepon Erisha. Bukan karena yakin bahwa Sabtu pagi yang merupakan waktu kesukaan Erisha bakal menjadi timing yang tepat, tapi karena beberapa hari sebelumnya Ale harus mengembalikan ketenangannya seperti semula.

Pada sambungan pertama, ternyata Erisha mengangkat. Bukan main leganya Ale karena dia kira cewek itu akan mengabaikan teleponnya.

"Kamu di mana?" tanya Ale langsung, mengabaikan fakta bahwa mereka sedang tidak saling berkabar saat ini.

50mm (35mm Sequel)Where stories live. Discover now