5 : mabuk

1.2K 298 49
                                    

WONU ralat omongannya. Memang masih ada banyak cara untuk mencari uang. Namun, untuk mendapatkannya, tidak melulu ada kesempatan. Tiga hari ini Wonu sudah mencoba mencari ke sana-kemari. Melamar pekerjaan tambahan selain job menyanyi. Dari toko-toko kecil hingga memberanikan diri ke tempat ternama—mencoba mencari peruntungan alias coba-coba saja walau sadar diri tidak mungkin diterima. Hasilnya zonk. Hanya lelah yang dia dapat.

"Ngape dah? Masalah idup lo berat amat kayaknya sampai kantung mata serem begitu." Joshua bergidik. Melirik sekilas kemudian sibuk berkutat dengan ponsel barunya yang mahal—dengan jumlah tiga kamera berkilauan berbentuk boba. Bikin Wonu gatal ingin menyentuh, tetapi tidak berani. Takut jatuh. Sebab seandainya itu terjadi, Wonu tidak akan sanggup mengganti. Kendati demikian, dirinya memilih mengagumi dari jauh saja. "Kakak lo bikin ulah lagi?"

       "Itu sih setiap hari," kata Wonu. Berhenti memandang ponsel Joshua dengan wajah kelewat mupeng. Berganti menopang pipi menggunakan tangan kanan. Meratapi nasib.

       "Terus?"

        Wonu menggigit bibir bawah. Sebenarnya telah menyiapkan cadangan cara untuk mendapat uang SPP. Cara paling ampuh, namun juga bisa mencekiknya akhir bulan nanti. "Bang," panggil Wonu, mengembuskan napas gusar. Menetralisir kegugupan dengan mendistraksi tatapannya ke arah lain; menyaksikan Jono, misalnya. Pelayan kafe itu sibuk membersihkan kaca jendela sampai ke meja-meja sembari menunggu pelanggan datang.

        "Hmmm."

        "Bang...."

        "Hm."

        "Bang........"

        "Lo kalau mau ngutang, langsung aja. Nggak perlu kelamaan intro."

        "Kok tahu, sih?"

        Joshua memutar bola mata. Menurunkan kaki. "Orang susah kayak lo masalahnya kalau bukan keluarga, berarti ya masalah finansial. Gampang kebaca. Butuh berapa? Banyak nggak?"

         Wonu meringis. Menggaruk tengkuk yang mendadak gatal. Tiga tahun kenal Joshua, masih suka kaget mendengar omongan blak-blakan cowok berusia dua puluh tiga tahun tersebut. "Ya, lumayan, sih. Sekalian buat bayar obatnya Bapak. Ntar gantinya potong aja dari sebagian gaji gue."

         "Oke," jawab Joshua enteng, "tapi jangan protes kalau gue motongnya kelebihan. Minggu depan mau bayar kos soalnya."

         Jawaban singkat di kalimat awal Joshua menimbulkan sepercik senyum kelegaan untuk Wonu, meski selanjutnya jadi mengerutkan dahi mendengar seorang Joshua Aditama ingin membayar uang kos. "Tumben, biasanya Kak Una gercep bayarin," komentarnya, mengingat-ingat.

       "Udah pinter dia sekarang, jadi kemungkinan besar besok atau lusa gue bakal diputusin," kata Joshua seakan bisa memprediksi. "Lagian nomornya gue blokir, nggak mungkin dia diem aja."

      "Hah?" Kerutan di dahi Wonu bertumpuk berlapis-lapis.

       Joshua berdecak sembari mengempaskan tangannya seakan mengusir angin. Memberi kode bahwa tidak ingin melanjutkan percakapan soal itu. "Daripada lo kayak keong, hah hah mulu, nih kenalin calon cewek gue yang baru," ucapnya, menggeser tempat duduk. Memamerkan layar ponsel mahal yang menampilkan gambar seorang perempuan berambut panjang ikal melalui instagram. Kontan saja, mata sipit Wonu melebar. Selain terkejut melihat banyaknya digit angka di bagian like, dia juga kaget melihat siapa 'calon pacar' barunya Joshua.

       "Ini ... heh, Bang, dia yang filmnya masuk box office kemarin, 'kan?!"

       "Iye."

Pendar [selesai]Where stories live. Discover now