BAGIAN I

935 85 2
                                    

Ada sebuah kisah di beberapa dekade sebelumnya, tempat jiwa Dazai berasal, dunia dimana ia begitu bodoh hingga menderita sebegini dalam.

Kesalahan itu berlanjut di kehidupan sekarang dan selalu masuk ke mimpinya. Selalu. Dazai tidak tahu siapa, yang dia ingat hanya pada satu malam valentine, sebuah bingkisan merah hati di atas tangan mungil tersodor padanya dengan penuh perasan sebelum ia tolak dengan penuh kebengisan. Dazai cukup tersiksa karena telah terbayang air mata dan raut kecewa orang itu bahkan tanpa mengatahui bagaimana rupanya. Ia telah memikul rasa bersalah yang tidak pernah terungkapkan dibawanya sampai mati dan hidup kembali.

Kepercayaan Dazai berkata bahwa bertemu dengan orang itu, meminta maaf jika perlu bersimpuh sampai kening menyentuh bumi, adalah hal yang bisa membuatnya bebas dari kutukan. Namun Dazai tidak mengira kalau mimpi yang kian lama kian nyata membuatnya tersiksa mental dan batin.

Apa bisa dibayangkan selama tujuh belas tahun ia hidup, seluruh malamnya dihabiskan untuk satu buah mimpi yang tidak pernah berganti? Tidak pernah bertambah, tidak berkurang— serakah bila Dazai berkata menginginkan mimpi yang lain, nyatanya ia akan merasa sangat-sangat bahagia andai saja kemampuan bermimpi ditarik dari dirinya.

Dazai selalu terbayang di tiap ia terbangun dari tidur, selama tujuh belas tahun, sampai rasanya tidak ingin bangun lagi, menciptakan jejak-jejak penyiksaan diri yang ditutup perban di sekujur tubuh. Dadanya selalu sakit. Kepala berputar berusaha mencari memori tentang orang itu di serpihan-serpihan ingatan yang gelap. Bagaimana bentuk bibirnya. Apa warna rambutnya. Mata seperti apa yang ia tampilkan. Dazai mati-matikan berusaha tapi tidak mendapat apa-apa sampai rasanya lebih baik mati.
Karma ini sungguh menyiksa.

Ayolah. Itu hanya mimpi. Apalah arti dari sebuah bunga tidur yang bahkan tidak teringat maknanya?’

Salah jika ada anggapan seperti itu karena buktinya, arti yang dicari Dazai jauh lebih dalam sampai memaksanya menggunakan stimulan terlarang agar bisa terjaga berhari-hari. Membunuh keinginannya sebagai manusia untuk tidur demi terhindar dari mimpi buruk itu. Ia mulai menyatat tangan, kelelahan, dan berujung masuk rumah sakit, putus sekolah untuk pemulihan. Dazai Osamu hancur sepenuhnya.

Bunga tidur, huh?

Jangan bercanda.

Selesai dari masa rehabilitasi, Dazai memutuskan melanjutkan sekolah. Lebih tepatnya ia dituntut untuk melanjutkan sekolah. Entahlah beruntung atau tidak kali ini ia menjadi bagian dari keluarga berpengaruh hingga informasi tentang penyalahgunaan obat terlarang tidak mencemari nama baiknya.

Meski putus asa, Dazai masih membenci rasa sakit yang ditimbulkan sisa-sisa kenangan kecil itu sampai kesimpulan bahwa ia harus mendapat hukuman atas kesalahannya. Karena itu ia mulai menghukum dirinya sendiri sehingga terciptalah sosok siswa populer yang akan menerima semua coklat valentine dan hadiah sebagai penebusan dosa, menghargai semua perasan orang terhadapnya sebagai hukuman karena telah mengabaikan satu hati yang tulus.

Bodoh sekali.

Benar. Yang ia lakukan tidak lebih dari hal bodoh nan konyol yang tidak membuatnya lepas dari jeratan mimipi terkutuk. Ia putus asa.
Dosa seberat apa yang ia lakukan sampai terjebak sedalam ini?

Dazai menyerah. Lelah. Kini ia tidak melakukan apapun selain hidup seperti mayat.

Sampai ia bertemu orang itu.

Di tengah musim dingin yang begitu syahdu.

Di tengah-tengah kerumunan muda-mudi, berjalan lembut.

Seseorang yang membuat detak jantungnya terdengar.

Menjalankan kembali detik jam yang berhenti berputar.

Mengembalikan warna di dunianya yang suram.

“Apa ada perlu?” Kedua bola mata bewarna biru yang menatap Dazai seketika menyiramnya dengan angin rindu. Tangan mungil yang ia genggam begitu rapuh. Dazai tahu, ia yakin, orang ini adalah dia.

Jiwa yang membuatnya sengsara. Pemilik hati yang telah ia sakiti sampai ia dihukum lebih dari mati.

“Aku mengenalmu..”

Pemuda itu memiringkan kepala hingga helai-helai oranye jatuh dengan anggun ke pundaknya seperti tirai opera. “Benarkah?”

Suara.

Dazai mengenal nada dan gerakan bibir yang mengingatkannya pada lemah lembut ombak laut di musim panas. Sesuatu menggebu di dada, Dazai ingin menuangkannya lewat mata kemudian ia memeluk pria itu.

Pemilik mata biru menarik diri, naik pitam berteriak marah, “Apa-apaan kau?!”

“Maaf!” Dazai menjawab dengan manik amber yang berpendar memanas ketika ia sadar bahwa telah melakukan hal yang tidak pantas. “Maafkan aku.”

“Kurang ajar! Kalau ini bukan sekolah aku pasti sudah menendangmu!”

Menendang? Hanya itu? Andaikan dia tahu kalau Dazai telah memberinya hak untuk mengambil nyawanya.

“Aku minta maaf.”

“Sebodoh lah.”

“Tunggu!” Pria itu menaikkan sekali lagi alis ketika pergelangan tangannya dijegat oleh Dazai. “Kau harus memaafkanku!”

“Masalah bodoh seperti ini besok juga lupa. Tapi beda cerita kalau kau semakin menyebalkan, lepas!”

“Bukan tentang yang tadi,” Dazai tidak percaya akan ada tiba saat ia memohon pada seseorang, “maafkan kesalahanku di masa lalu.”

“Hah?” pria itu menganga bingung. Manis. Ia mengendurkan tenaga sehingga Dazai melepaskan genggamannya. Merapihkan cardigan merah yang menutupi seragam sekolah, ia bertanya, “Kita pernah bertemu?”

Muncullah pertanyaan yang tidak bisa Dazai jawab. Ya, dia bisa mengatakan dengan mudah, ‘kita bersama di kehidupan sebelumnya. Aku pernah menyakitimu jadi aku ingin minta maaf karena hal itu selalui menghantuiku di kehidupan ini.’

Mana mungkin ada yang percaya. Dazai yakin pria mungil itu hanya akan menganga lalu mencemooh sebelum pergi dengan tangan yang terkibas-kibas.

“Valentine.” Dazai bergumam. Mungkin jika merevisi hari itu, mungkin dengan menerima hadiah dari orang ini akan membebaskannya? “Valentine nanti, tolong berikan coklat untukku.”

Keheningan diisi oleh bunyi bel yang menandakan istirahat makan siang telah usai. “Kau pikir kau siapa bisa dapat cokelat dariku? Asal tahu saja, aku sudah punya pacar dan kau hanya orang mesum kurang ajar!”

Dazai mengerjap. Yang ada di kepalanya hanya perasaan tidak rela entah sebab apa. Bahkan ia tidak tahu nama orang itu, ia baru melihatnya, tapi satu kalimat sinis yang terucap membuatnya terguncang hingga ia masih diam disana menyaksikan punggung kecil itu menjauh. Ia sama sekali tidak memikirkan Mori Ougai yang akan masuk ke kelasnya dan menghukumnya jika terlambat masuk, sungguh itu tidak penting. Dazai tahu apa prioritasnya. Sayangnya, ketika belokan di lorong, Dazai tidak lagi melihat sosok itu. Bahkan ia tidak lihat ruang mana yang dimasukinya. Dazai kehilangan jejak.

“Sial.”

To Be Continued

14 Februari 2020
SeaglassNst

Lucid CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang