BAGIAN III

862 91 7
                                    

Dazai berjalan tepat di belakangnya, tidak ingin tongkat itu bertemu mesra dengan tulang kering jika ia berjalan di sebelah Chuuya. Dazai hanya membantu membuka pintu ketika tangan Chuuya penuh dengan coklat sedangkan satunya lagi berkutat dengan tongkat.

Namun, detik setelah Chuuya melangkah keluar, Dazai menyesal.

Apa yang ada di hadapan Chuuya adalah sebuah pengkhianatan. Tachihara brengsek yang mengecup bibir seorang gadis berseragam SMA. Dazai melempar matanya segera pada sosok mungil itu. Tampak jelas kekecewaan di matanya.

Dazai tahu apa yang ia rasakan. Chuuya mematung. Melihat punggung itu menjauh, seseorang yang ia anggap berharga, yang selalu ia maafkan dan selalu ia sayangi. Seseorang yang membuat Chuuya hanya menahan isak walau air mata sudah mengalir di pipinya.

Punggung kecil yang bergetar itu tidak asing bagi Dazai. Ia sering melihatnya, terlalu sering, setiap saat ia memejamkan mata. Tubuh kurus yang mengencang dan bergetar menahan isak. Tangan yang mengepal dan sesekali menyeka air mata, Dazai sudah lebih dari muak melihatnya.

Di waktu yang lewat, di dalam mimpinya, melihat sosok itu menjadi sebuah penyiksaan karena ia tidak bisa mengingat. Namun kali ini, Dazai seakan merasakan pedihnya. Ia marah pada kenyataan yang ditimpakan semesta pada sosok mungil yang berdiri teguh di sana. Ia marah pada dirinya yang tidak bisa mengatakan apa-apa selain pergi dan menghilang. Meninggalkan Nakahara Chuuya berdua dengan isaknya di sana.

Malam selalu menjadi hal yang buruk karena jika ia tertidur, mimpi sialan itu akan kembali berputar di kepala. Enggan beranjak dari bangku di tepi taman bermain dekat rumah sakit, Dazai hanya mendengar suara angin musim dingin ditemani bintang yang ia tidak tahu dimana letak keindahannya. Bagi Dazai mereka hanya bola gas raksasa di kejauhan yang berperan sebagai penerang di malam hari, tidak lebih.

"Oi orang gila!" Dazai menoleh, mendapati sosok mungil —yang ia yakin menjadi dalang semua kesialannya di hidup yang sekarang— sedang berdiri di ujung bangku. Dazai membeku.

"Kau tidak tahu ya kalau februari itu masih musim dingin? Kenapa kau masih pakai baju olahraga dan duduk di sini sendiri seperti orang yang mau digantung besok? Benar-benar gila."

Dazai bahkan tidak punya tenaga menjawab ocehan yang membawa hawa nostalgia itu. Ia memilih membawa pandangan mengikuti Chuuya duduk, melihat pipi merah dan mata sembabnya.

"Kenapa kau kesini?" Dazai bertanya. Ia benar-benar tidak ingin Nakahara Chuuya ada di sini dan membuat dadanya memanas entah karena apa. Sungguh, ia bersungguh-sungguh telah menyerah mendapatkan coklat itu. Ia menyerah pada hidupnya, ia menyerah pada segalanya dan benar-benar siap seandainya ia memang mati besok. Ia tidak ingin menjadi orang yang menerima kebahagiaan ketika Chuuya yang sangat indah ini sedang hancur hatinya.

"Katakanlah aku mencegahmu bunuh diri."

"Chuuya.." Sejujurnya Dazai tidak mendengar jelas karena merasa sangat lelah, mengantuk, lapar, mengigil, dan sesak napas. Sekarang keberadaan Nakahara Chuuya di sini hanya seperti gas beracun yang membuatnya sulit bernapas. Ah, andaikan ajal itu dekat, kenapa tidak sekarang saja Dazai dipenggal dewa kematian?

"Ya ampun, kau bodoh."

Kehangatan yang seketika timbul membuat Dazai membelalak. Jantungnya berpacu begitu tangan mungil Nakahara Chuuya melilitkan syal rajut tebal di lehernya yang beku. Aroma Chuuya ada disana, membuat Dazai sekali lagi disiksa oleh perasaan rindu tanpa bisa melihat jelas sumber luka itu.

"Kau mau mati di hari valentine? Boleh sih, tapi ini," Chuuya menggamit tangan Dazai, meletakkan sebuah bingkisan kecil berwarna biru laut di telapak tangannya. "Nikmati hasil kekeras kepalaanmu dan kebaikan hatiku. Setelah itu, kau matilah."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lucid CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang