Prolog

4.6K 443 33
                                    

"Pak, boleh tolong berhenti sebentar di toko roti depan, nggak?" tanya Aruna sambil menunjuk bangunan dengan warna cat cokelat tua yang berada tidak jauh dari posisinya sekarang.

Ketika mendapat anggukan sebagai jawaban dari driver ojol yang sedang memboncengnya, Aruna pun tersenyum puas seraya melirik jam tangannya. Senyum gadis itu pun seketika menghilang ketika sadar jam berapa sekarang.

"Demi apa, sih? Kenapa jarum jam cepet banget muternya?! Kalau gini caranya, aku bisa telat!" gerutu Aruna.

Apa hari ini nggak usah mampir?

"Berhenti di sini dulu 'kan, Mbak?" tanya si driver sambil menghentikan motornya tepat di depan bangunan yang tadi Aruna tunjuk.

Eh, udah telanjur sampai. Sayang kalau nggak mampir. Oke, aku bakalan cepet-cepet!

Aruna melompat turun dari jok belakang motor, lalu memberikan helm ke driver dan juga isyarat untuk menunggu sebentar. Gadis itu pun langsung berlari ke dalam bangunan dengan tergesa-gesa.

Hal yang pertama kali menyambut kedatangan gadis itu adalah aroma roti dan kopi yang sangat menggoda, lalu senyum ramah para karyawan toko roti tersebut. Namun, Aruna tidak punya waktu untuk menikmati aroma serta bertukar satu dua kalimat dengan para karyawan. Dia sedang dikejar-kejar waktu.

"Dua croissant sama satu chocolate croissant, ya. Dibungkus," ucap Aruna ketika sampai di kasir.

"Atas nama?"

"Aruna," ujarnya dengan senyuman. Lalu, gadis itu menambahkan, "bungkusnya dipisah, ya. Makasih."

Setelah membayar pesanannya, gadis itu pun menyusuri etalase yang ada di depannya. Satu per satu menu yang tersedia ia telusuri, merencanakan apa yang akan ia beli esok hari. Melamun sejenak, lupa bahwa waktu mengejarnya.

"Atas nama Aruna!"

"Ah, iya!"

Gadis itu berbalik dengan tergesa tanpa sadar kalau tali sepatunya tak terikat dengan benar. Selanjutnya yang terjadi adalah munculnya suara debar aneh yang mengisi penuh dadanya.

***

"Hargai waktu, bisa? Toko buka jam enam, berarti kamu harus datang sebelum itu. Nggak ada alasan macet! Kamu kerja di sini udah setahun dan harusnya hafal kondisi jalan!"

Dapur terlihat sibuk, semua koki bekerja sedang cowok berambut kemerahan itu hanya bisa berdiri dan menundukkan kepala.

"Sekarang pel semua lantai! Jangan lupa bersihkan kaca depan!" Pria paruh baya yang dari tadi mengendurkan dasi dan tanpa basa-basi cowok tadi pergi.

"Galak banget, gila. Baru juga telat sekali minggu ini."

Cowok itu melangkah menuju area gudang. Tubuhnya yang tegap tampak tidak senada dengan apron merah muda yang sekarang ia kenakan. Embusan napas panjang pun terdengar.

"Kerja, Ar ... duit nggak bisa turun dari langit."

Cowok itu kembali keluar dengan pel juga ember di tangan. Persenjataannya sudah lengkap sekarang.

"Telat lagi?" tanya satu orang wanita empat puluhan dengan nampan berisi roti di tangan.

Cowok itu hanya bisa memamerkan gigi dan kembali fokus membasmi bakteri di lantai. Suara denting lonceng yang tergantung di atas pintu pun terdengar, tapi Arjuna masih fokus pada pekerjaannya.

Sampai suara seseorang mencuri perhatiannya.

Gadis itu datang lagi.

Si anak SMA yang seragamnya tak pernah rapi. Diam-diam cowok itu bertanya, apa yang dipesannya kali ini?

"Makasih."

Cowok itu terkesiap saat gadis itu berbalik. Fokusnya kembali pada pel, menghindari temu tatap dengan gadis itu. Namun, telinga cowok itu masih peka pada suara langkah kaki di belakangnya.

Sampai akhirnya panggilan dari kasir seperti angin segar yang menyelamatkan ia dari kegugupannya.

"Atas nama Aruna!"

"Ah, iya!"

Tak lama setelah itu, entah apa yang terjadi di belakangnya, tubuh cowok itu terdorong begitu saja. Namun, dengan sigap tangannya menapak lantai, menahan beban tubuh yang mendadak jadi lebih berat dari biasanya. Perasaan asing menghampirinya, ada sepasang tangan yang melingkari pinggang cowok itu. Cukup erat sampai membuatnya sedikit sulit bernapas.

Sebelum Arjuna larut dalam pikirannya, sang pelaku langsung bangkit dan menariknya berdiri. Selanjutnya, yang terdengar adalah kata maaf berulang kali, tapi cowok itu tidak peduli. Jantungnya sedang tidak bisa diajak kompromi.

"Kak, maaf! Kalau kakak sakit, besok aku obatin! Soalnya sekarang aku lagi telat." Wajah gelisah gadis itu terlihat lucu. "Nama aku Aruna. Besok aku ke sini lagi, kok. Besok aku bawain koyo siapa tau kaki kakak terkilir. Kakak namanya siapa? Biar aku gampang carinya."

Aduh, cowok itu lupa cara berkedip kalau saja Aruna tidak mengibaskan tangan di depan wajahnya.

"Kak? Namanya siapa?"

"Arjuna. Gue Arjuna."

"Wah! Nama kita mirip!"

Lalu, gadis itu pun tersenyum, seketika membuat Arjuna lupa bagaimana caranya bernapas.

***

Author's note;

Sebelum kalian marah-marah karena aku belum up Langit, aku mau jelasin dulu.
Buku ini kolaborasi antara aku dan lithromantic ... cerita yang kami angkat di sini sederhana, bacaan ini cenderung ringan.

Ada dua tokoh di sini yang menggambarkan kami, dan mungkin nanti kalian akan tahu aku menjadi siapa dan lithromantic menjadi siapa.

Selamat mengenal Aruna dan Arjuna.

-dizappear & lithromantic-

Made with LoveWhere stories live. Discover now