Bab 2

1.8K 253 35
                                    

Arjuna tersenyum memandangi plastik bening yang kini tergeletak di meja belajarnya. Ingatan Arjuna kembali pada kemarin. Ia ingat bagaimana wajah memerah gadis itu berubah menjadi cerah.

Aruna.

Diulang berapa kali pun nama itu ternyata tetap terdengar indah.

Dengan senyuman, Arjuna meraih satu koyok untuk kemudian ia pasang pada pergelangan tangan. Siapa sangka, hangatnya benda itu merambat pelan hingga ke dada Arjuna.

Dia pasti sudah gila.

Buru-buru Arjuna meraih jaket yang ia sampirkan di kursi belajarnya, juga kunci motor. Ia bisa terlambat menjemput seseorang jika terlalu lama memikirkan Aruna.

***

Arjuna mengamati satu persatu buku di sisinya. Melihat apakah ada yang menarik di sana. Namun tetap saja tidak bisa. Ia tidak bisa membayangkan betapa pusing kepalanya kalau ia harus membaca. Semua huruf itu jadi seperti semut yang berbaris dan mengganggu. Kenapa tidak digambar saja? Seperti komik misalnya?

"Lo mikir apa?"

Suara gadis di depannya berhasil membuat lamunan Arjuna buyar. Cowok itu kemudian tersenyum.

"Komik."

Gadis dengan rambut kecokelatan itu mengernyit. Dia meletakkan lagi novel yang ia pegang. "Lo pengin beli komik?"

"Enggak." Arjuna meraih satu buku dengan cover berwarna biru tua dengan gambar gelas di tengahnya. "Gue cuma mikir kenapa gue nggak bisa kayak lo yang gila baca, ternyata alasannya gue lebih suka lihat gambar daripada hurufnya."

"Otak lo random banget, ya?"

Gadis itu terkekeh. Arjuna melihat bagaimana gadis itu menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga untuk kemudian kembali fokus pada rak-rak di hadapannya.

"Kalau bosen lo bisa lihat komik dulu. Gue bakal lama soalnya."

"Ok." Arjuna meletakkan lagi buku yang tadi ia pegang. Matanya menyipit mencari rak komik. "Telpon gue kalau udah, biar gue yang nyari lo."

Arjuna segera pergi begitu gadis itu menganggukkan kepala. Rak komik menyambutnya dan Arjuna menyipit, sadar bahwa judul di sana tak ada yang ia baca. Satu-satunya seri komik yang berhasil ia tamatkan adalah Death Note, karena hanya ada dua belas buku saja. Ah, ia juga pernah membaca Conan dan Naruto, tapi tak pernah mengikuti serinya.

Arjuna melangkah lagi, mencoba mencari di balik rak ini, tapi yang ia temukan justru sosok lain yang duduk menghadap rak dengan komik di tangan. Sosok yang sudah Arjuna kenal.

"Aruna?"

Gadis itu mendongak dan memiringkan kepala. Senyum Aruna kemudian mengembang dan menular pada Arjuna.

"Kak Juna!"

"Arjuna ... nggak pakai Kak."

Gadis itu bangkit dan tertawa. Arjuna bisa melihat komik naruto yang gadis itu pegang ditutup begitu saja. "Lo nggak lanjut baca?"

Aruna menggeleng. "Bisa besok lagi, kok. Kak Juna udah nggak apa-apa?"

Arjuna mengembuskan napas, sepertinya susah sekali membuat Aruna menanggalkan embel-embel Kak di depan namanya.

"Gue baik-baik aja."

Arjuna membiarkan Aruna meneliti tubuhnya. Ada binar mata yang membuat jantung Arjuna berdebar dan menjadi lebih kencang saat Aruna meraih tangannya.

"Wah! Kakak pakai!"

Wajah gadis itu terlihat secerah siang sekarang dan karena itu Arjuna tidak bisa menahan senyuman.

"Masa harus gue buang?"

Gadis itu menggeleng. "Nice! good boy!"

Sialan, kalau bukan Aruna yang bilang begitu, pasti Arjuna sudah mengamuk dulu. Pasalnya, ia merasa seperti anjing pemilik kafe. Biasanya kalau anjing itu menurut, Arjuna selalu menghadiahi pujian semacam; anjing pintar atau good boy.

"Lo ngapain di sini?"

Aruna tampak kebingungan. Ia mengernyit sebelum akhirnya kembali membuka suara.

"Ah, iya! Aku tadinya mau cari buku resep, tapi malah keterusan baca komik."

"Mau gue temenin?" Wah, mulut Arjuna sepertinya harus dikasih rem.

Namun untungnya gadis itu mengangguk. Komik yang dia pegang pun segera berpindah ke rak. Arjuna mengikuti langkah ringan milik Aruna, sesekali gadis itu berceloteh dan Arjuna hanya bisa terkekeh karenanya.

Diam-diam Arjuna melirik bagian novel, di sana masih ada Sandra yang sibuk dengan entah apa yang dicarinya dan Arjuna berdoa agar Sandra di sana lebih lama.

"Kakak bisa buat kue?"

"Gue?"

Gadis itu mengangguk antusias. "Aku pengin bisa buat kue sendiri, tapi takut dapurnya meledak."

"Gue apa lagi. Megang spatula aja paling dia langsung karatan."

Aruna tertawa dan suasana di sana seketika terasa hangat. "Aku pikir Kakak bisa. Kan enak tuh kalau nanti bisa bikin toko kue sendiri."

Arjuna mengangguk. Tangannya meraih satu buku dengan wajah ibu-ibu di depannya. Ini buku resep untuk makanan rumahan.

"Cita-cita gue, sih gitu. Gue pengin bikin toko gue sendiri, biar nggak ada yang marahin kalau gue telat."

Buku tadi ia kembalikan lagi di rak dan perhatiannya kini terpusat pada Aruna.

"Wah hebat! Di balik cita-cita Kakak, ternyata ada alasan yang sangat memotivasi, ya? Unik sekali."

Lalu obrolan mereka mengalir begitu saja. Aruna sudah memegang buku yang cari, tapi keduanya seperti tak berniat beranjak dari sana. Terlalu nyaman, saat-saat bersama Aruna ternyata menyenangkan. Sampai akhirnya suara dering ponsel menjeda semuanya.

Aruna tampak tidak keberatan, maka Arjuna mengangkat panggilannya.

"Gue udah kelar. Makan, yuk? Gue pengin sushi."

"Kebiasaan nggak pakai salam. Yaudah bentar. Lo masih di novel, kan? Gue ajak temen gue sekalian."

Panggilan dimatikan. Kini perhatian Arjuna sepenuhnya tertuju pada Aruna. Kok jantung Arjuna rasanya lompat-lompatan, ya? Padahal cuma mau ajak makan.

"Kenapa, Kak?"

"Eh?" Cowok itu menggaruk tengkuknya. "Lo udah makan? Gue laper, nih. Ikut gue makan, yuk?"

Aruna melihat jam di ponselnya. Ia tampak menimbang. "Makan apa?"

"Sushi?"

"Nggak, deh. Mahal. Aku masih pelajar tau, Kak."

"Gue traktir."

"Deal!"

Dan Arjuna berhasil memaksa Aruna untuk ikut dengannya.

***

A/N

Hai, ini Nindya alias @dizappear yang nggak bisa tag dirinya sendiri :)

Jadi sudah jelas lithromantic jadi Aruna dan aku jadi Arjuna, yaa 🌝

Semoga kalian suka, ya?

Selamat membaca!

Made with LoveΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα