2. Aku Pita (2)

2.2K 105 1
                                    

"Pita. Saya dengar kamu kemarin bertengkar dengan ART-nya Pak Ridwan ya?" ucap Pak Harun saat aku sedang membuka gorden jendela. Pak Harun terlihat sudah rapi dengan kaus hijau berkerah dan celana jeans hitam. Ia menatapku sangat tajam. Pasrah sajalah jika akhirnya aku di pecat.

"Kenapa diam Pita? Saya bertanya sama kamu". Aku menundukkan kepala. Air mata mulai menggenang. Menyesali perbuatan-ku yang tanpa berpikir panjang. Hanya mementingkan emosi semata. Melihat kedua kaki Pak Harun yang tidak kunjung beranjak, akhirnya aku pun mengangkat kepala,

"Maaf Pak. Maafkan saya. Saya ikhlas kalau bapak pecat saya". Pak Harun hanya bergeming. Tangannya mengusap dagu. Pandangannya mengedar ke segala arah. Satu menit terasa sudah. Aku tetap tidak berani mengeluarkan sedikitpun kalimat pembelaan.

"Baiklah. Karena mencari pengganti yang bisa dipercaya itu sulit. Saya potong saja gaji kamu. Seperempat. Bulan depan kamu hanya akan menerima tujuh puluh lima persen gaji. Selain itu, kamu juga tidak boleh keluar rumah selama satu minggu. Kalo ingin belanja sayur, pergi dengan saya ke pasar tradisional. Ingat jangan coba-coba untuk melanggar. Pak Santoso akan selalu mengawasi".

Aku terima hukuman ini. Walaupun tak ada Pak Santoso yang mengawasi, aku memang berniat untuk tidak keluar rumah. Untungnya Pak Harun akan mengantar ke pasar jika aku ingin belanja. Jika tidak, aku benar-benar bingung harus bagaimana. Semua orang pasti akan menatapku dengan penuh cemohan.

"Terima Kasih pak karena tidak memecat saya. Sekali lagi maafkan saya. Saya janji tidak akan keluar rumah sampai batas waktu yang bapak tentukan". Suasana kembali hening. Pak Harun melangkahkan kaki menuju teras. Entahlah beliau akan pergi kemana. Aku melihat ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan pukul enam tepat. Sudah waktunya aku untuk membangunkan Ashira.

Kamar dengan pintu kayu jati dan tirai entah mungkin terbuat dari kerang, aku juga tidak terlalu mengerti. Di pintu tertulis nama Ashira yang terbuat dari berbagai warna kertas origami. Karena sudah terbiasa, aku pun tidak perlu lagi mengetuk pintu jika hanya untuk membangunkan majikan kecil-ku itu. Ceklek. Pintu berhasil terbuka. Kamar ini didominasi oleh warna pink dan putih. Hanya ada tempat tidur Queen Size dengan sandaran besi, satu buah lemari dengan tiga pintu, dua nakas di sisi kanan-kiri tempat tidur, juga satu set meja belajar. Semua berwarna putih. Sementara dinding dan gorden berwarna pink.

"Non bangun yuk udah pagi. Seragam sekolah sudah saya siapkan di atas meja belajar non". Ashira langsung terbangun meski terlihat masih enggan beranjak. Ia duduk diatas ranjang sambil mengucek kedua mata-nya. Aku masih berdiri di dekat lemari. Tugas-ku adalah membangunkan Ashira dan memastikan ia sudah masuk ke dalam kamar mandi. Jika tidak begitu, bukan tidak mungkin ia akan kembali tidur lagi setelah aku keluar.

Ashira telah ke dalam kamar mandi di lantai bawah. Saatnya aku menyiapkan sarapan. Ku-lihat Pak Harun sepertinya sudah tidak ada di rumah. Mobilnya sudah tidak ada di garasi. Sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi telah siap. Tak lama kemudian Ashira datang dengan seragam rapi dan tas yang sudah ia bawa.

"Mba ayah kemana ?"

"Saya kurang tahu non. Tadi pagi langsung keluar". Tak ada sahutan lagi. Ashira belum memulai sarapan-nya. Ia menatap-ku seperti ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Aku membalas tatapan-nya. Tak lama ia akhirnya bersuara, "Mba Pita dimarahi ayah ya karena bertengkar sama Mba Rani si ART itu?"

Aku tidak langsung menjawab. Apa aku memang terlalu keterlaluan ya waktu itu? Sampai Ashira pun dari nada bicara seperti tidak suka. "Maaf. Iya non. Maafkan saya". Aku menundukkan kepala. Meminta maaf dengan penuh penyesalan.

"Gak apa-apa mba. Ayah marahin mba itu karena sebenarnya ayah itu gak suka dengan Mba Rani. Dulu sebelum Mba Pita kerja disini, ayah dan bunda sering panggil Mba Rani buat cuci dan gosok pakaian aku sama bunda kalau dia sudah tidak ada pekerjaan lagi di rumah Pak Ridwan. Awal mulanya, dia memang tidak berulah mba. Tapi semakin sering dipanggil, dia jadi melunjak. Banyak pakaian bunda yang hilang. Alasannya tidak hilang, hanya tertumpuk karena pakaian bunda terlalu banyak. Untuk hal yang itu, masih bunda maafkan. Tapi ada hal yang membuat ayah dan bunda jadi marah besar. Mba Rani itu sering diam-diam masuk ke kamar bunda untuk mencuri pakaian ayah. Entah maksud dia itu apa. Saat itu aku sudah enam tahun. Jadi sudah bisa mengerti". Aku berdiri kaku mendengar cerita Ashira. Mungkin ini alasan Pak Harun untuk tidak mengijinkan aku untuk mencuci dan menyetrika pakaian mereka.

"Pak Ridwan juga sudah tahu kejadian-nya. Awal-nya Pak Ridwan ingin memecat Mba Rani itu. Tapi ayah masih memaafkan. Sebagai timbal balik-nya, ayah dan bunda sudah tidak mau berurusan lagi dengan Pak Ridwan dan Mba Rani. Dalam hal apapun. Ya walaupun Pak Ridwan sebenarnya gak salah". Otak-ku belum bisa mencerna alasan Mba Rani mencuri pakaian Pak Harun. Kalau punya Almh Ibu Arini sih pasti karena dia iri. Apa Mba Rani ingin menggunakan ilmu hitam? Aku pernah dengar sedikit kalau mau men*****t, bisa menggunakan pakaian. Terutama pakaian yang sangat privasi. Mengertilah pasti maksud-ku.

"Hmm..jadi seperti itu. Ayah kamu gak mau Mba Pita ribut karena sudah tidak mau lagi bertemu dan berbicara dengan Pak Ridwan serta ART nya?" Aku menatap mata Ashira dengan intens. Berusaha untuk mencari kebohongan di sana. Namun aku benar-benar tidak menemukan-nya. Anak ini terlalu polos untuk mengarang cerita.

"Iya Mbaaa Pitaaa. Ih sebel deh. Mba lemot yaaa?" Aku tersenyum dan menggeleng melihar Ashira yang sedang merajuk. Jika dilihat lebih jauh, aku dan Ashira memang terlihat seperti adik-kakak. Ia tidak menganggap-ku rendah di rumah ini. Sepertinya Pak Harun juga tidak keberatan aku dekat dengan anak-nya. Lagi pula aku juga bukan seseorang yang bisa membawa pengaruh buruk.

Waktu terus berlalu. Ashira sudah pergi ke sekolah sejak dua jam yang lalu. Suasana rumah menjadi sangat sepi. Pak Santoso yang notabene sebagai satpam di rumah ini pun tidak terlihat batang hidungnya. Rumah ini memang tidak memiliki supir pribadi. Hanya ada Pak Santoso sebagai penjaga rumah. Terkadang beliau juga sering diminta Pak Harun untuk menyetir jarak dekat jika Pak Harun sedang tidak bisa menyetir sendiri. Sedangkan jika untuk ke luar kota, biasanya Pak Harun meminta salah satu anak buahnya di toko untuk mengantar.

Suasana sepi mengingatkan-ku saat pertama kali bekerja di rumah ini. Saat itu, aku baru berusia enam belas tahun. Aku sengaja untuk memutuskan tidak melanjutkan sekolah. para guru sangat menyayangkan keputusan-ku ini. Mereka berkata akan membantu untuk meringankan biaya SPP. Saat itu yang aku pikirkan adalah Arkan dan Arman. Mereka adalah anak laki-laki. Tidak boleh sampai putus sekolah. Sedangkan aku? paling nanti ketika sudah menikah, aku hanya akan menjadi seorang ibu rumah tangga.

Aku juga tidak mungkin membiarkan ibu berjuang sendirian karena ayah sudah tidak bisa bekerja lagi saat aku mulai masuk SMK. Fisik beliau sudah tidak sanggup untuk menguras tenaga terlalu lama. Sebelumnya, beliau adalah seorang buruh bangunan.

Aku hanya mengenal Budhe Laksmi sebagai orang yang bisa ku mintai bantuan untuk mendapatkan pekerjaan. Budhe Laksmi adalah teman ibu sesama ART ketika masih bekerja di rumah majikan ibu yang lama.

Ketika suami Budhe Laksmi berkata bahwa aku bisa membantunya di toko, aku pun langsung mengiyakan saja. Tidak disangka, aku malah diberi pekerjaan sebagai ART oleh bos suami Budhe Laksmi.


Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now