6. Menikah?

1.7K 81 1
                                    

Dua minggu sudah berlalu. Pendarahan ayah sudah berhenti. Bahkan beliau sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Namun kendati demikian, ayah masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera membuka mata.

Setiap hari aku menyempatkan diri untuk mengunjungi ayah. Biasanya pada sore hari. Saat semua pekerjaanku telah selesai. Bahkan beberapa kali aku bermalam di rumah sakit untuk bergantian jaga dengan ibu atau kedua adikku.

Saat ini, aku sedang berada di minimarket yang menyatu dengan rumah sakit untuk membeli satu cup kopi instan. Sudah tiga jam berlalu, namun hujan masih belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti.

Malam hari ditambah udara yang dingin, menjadikkan aku nekat untuk menerobos derasnya hujan dengan payung kecil yang tentunya tidak bisa melindungiku sepenuhnya. Bukannya tubuhku menjadi lebih hangat setelah meminum kopi yang baru diseduh, aku malah merasa semakin kedinginan karena seluruh pakaianku menjadi basah kuyup.

Aku berusaha secepat mungkin menghabiskan kopi yang tadi ku beli sambil duduk di kursi santai yang berada di pelataran minimarket. Beberapa kali aku merasakan lidahku seperti akan melepuh. Akhirnya, setelah beberapa tegukkan, aku berhasil menghabiskannya.

Aku bangkit dan berjalan mendekati tempat sampah untuk membuang bekas cup kopi yang ku minum. Sepertinya, malam ini aku terpaksa tidak bisa menemani ayah. Aku kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk menghubungi ibu untuk meminta Arkan atau Arman menggantikanku. Setelah beberapa kali terdengar nada tersambung, akhirnya ibu menjawab panggilan dariku.

"Assalamualaikum bu. Maaf, Arkan atau Arman sudah pulang belum ya?"

"Sudah. Ada apa nak? Apa terjadi sesuatu sama ayah?" Tanya ibu dengan panik.

"Tidak bu. Tadi aku ingin beli kopi di minimarket. Tapi ternyata aku malah kehujanan. Bajuku basah kuyup. Arkan atau Arman bisa tolong gantiin aku bu?" Ucapku sambil berusaha menghalau rasa dingin yang semakin menusuk pori-pori kulit.

"Bisa nak. Kebetulan Arkan memang sedang tidak ada tugas dari sekolahnya. Tapi Arkan sepertinya masih makan. Kamu tunggu saja di situ. Jangan kemana-mana". Aku mendesah lega mendengar jawaban ibu.

"Iya bu. Terima kasih. Kalau begitu, aku tutup dulu ya telponnya. Assalamualaikum". Setelah menutup telepon, aku berjalan kembali ke arah kursi yang tadi aku tempati.

Tiga puluh menit sudah aku menunggu sambil berdiam diri. Tidak lama kemudian, aku melihat Arkan berjalan mendekat dengan memakai jas hujan dan tetap menggunakan payung. Ia juga membawa membawa tas ransel di punggungnya.

"Mba ke dalem yuk. Ke toilet dulu. Ganti baju. Mandinya di rumah saja ya pakai air hangat. Oh iya, aku juga bawa jas hujan sama payung buat mba pulang". Ucapnya setelah mencium tanganku dengan takzim.

Aku dan Arkan berjalan menuju pintu masuk rumah sakit yang berjarak sekitar 100 m dari minimarket yang tadi ku datangi. Setelah berganti baju, aku segera berpamitan dengan Arkan untuk kembali ke rumah.

Angkutan kota sudah tidak ada yang beroperasi karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dengan terpaksa, aku menaiki ojek yang kebetulan sedang mangkal di pangkalan yang berada di seberang jalan.

"Pak ke Cimanggu ya". Ucapku pada abang ojek ketika sudah duduk manis di belakang beliau.

"Siap".

Perjalanan menuju rumah Pak Harun terkesan masih ramai meskipun waktu sudah semakin larut. Pedagang kaki lima-mulai dari pecel lele, nasi goreng, martabak, sate, dan bubur memenuhi trotoar yang sebenarnya dikhususkan untuk para pejalan kaki.

Dua puluh lima menit waktu yang kami habiskan untuk menempuh perjalanan. Setelah sampai, aku mengeluarkan satu lembar uang pecahan dua puluh ribu dan sepuluh ribu.

Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now