7. Penyesalan itu datangnya di Belakang

1.8K 86 13
                                    

Aku menundukkan kepala. Entah sudah berapa lama. Bahkan suasana taman rumah sakit yang ramai tidak aku hiraukan. Tiba-tiba, aku merasakan ada seseorang yang ikut duduk di sebelahku. Setelah menoleh, terlihat Pak Harun yang sedang bersandar.

"Bapak kenapa di sini?"

"Saya sengaja cari kamu".

"Ibu sudah memberitahukan semuanya kan pak?" ucapku sambil menghela napas panjang. Pak Harun terlihat sangat gelisah. Ia tidak menjawab apapun. Bahkan pandangan matanya pun berubah-ubah.

"Menurut kamu gimana?" tanya Pak Harun dengan suara penuh keputusasaan.

"Gimana apanya?"

"Tentang keinginan ayah kamu?"

"Nggak gimana-gimana pak. Oh iya, sekalian saya mau minta izin sama bapak. Bolehkan saya masih bekerja dengan bapak walaupun sudah tidak menginap lagi?" ucapku sambil menatap ke arah Pak Harun.

"Tapi bukan itu keinginan orang tua kamu. Pilihannya hanya take it or leave it?"

Kami saling menatap. Berusaha menyelami isi pikiran masing-masing. Tidak ada raut apapun yang ku lihat dari Pak Harun selain raut kesungguhan meminta jawaban tegas dariku.

"Saya masih butuh pekerjaan, tapi pernikahan itu bukan hal yang mudah untuk saya". Air mataku menetes tanpa diperintah. Aku menatap Pak Harun dengan nanar.

"Bagi saya menikah itu ibadah. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak bisa menikahi kamu. Dari usia juga kamu sudah bukan anak dibawah umur lagi. Kamu anak baik-baik. Sudah pintar mengurus pekerjaan rumah tangga. Namun walaupun kamu memang sudah pantas untuk menikah, tetapi kalau kamu sendiri pun belum ikhlas, rumah tangga kita mungkin akan sering mengalami pertengkaran". Pak Harun berkata sambil menunduk. Seperti sedang kehilangan harapan.

"Bapak sendiri, kenapa sampai lima tahun tidak menikah lagi?"

"Tidak pernah sekalipun terpikirkan. Lagi pula, mencari istri seperti mendiang Arini tidak mudah". Aku tersenyum getir mendengar jawaban Pak Harun. Sudah pasti sosok sepertinya akan mencari pendamping yang sepadan. Sedangkan aku? Hanyalah seorang pembantu rumah tangga yang bahkan-SMK saja tidak lulus.

"Sudah saya duga". Gumamku pelan.

"Apa maksud kamu?" tanya Pak Harun yang sekarang sedang menatapku sambil mengerutkan dahi.

"Maksud saya, bapak sudah pasti akan mencari istri yang derajatnya sama dengan bapak. Dari pendidikan, keluarga, karir. Intinya semua hal".

"Tidak juga. Kebetulan saja saya dulu memang satu lingkup pertemanan dengan Arini. Kamu jangan salah paham dulu. Maksud saya yang seperti Arini itu, wanita yang walaupun dia sudah hebat-tapi dia tidak merendahkan saya sebagai seorang laki-laki. Bahkan tetap setia mendampingi saya walau saya sedang berada di titik terendah. Tidak sedikit saya jumpai wanita yang merasa memiliki power yang lebih daripada suaminya. Akhirnya mereka menjadi egois dan bertindak semaunya. Bahkan ada yang akhirnya sampai menjadi selingkuh". Pak Harun berucap dengan nada yang tinggi. Aku merasa kalau ia sepertinya merasa tersinggung dengan ucapanku sebelumnya.

"Mungkin bapak memang seperti itu. Tapi, apa keluarga bapak juga memang tidak seperti yang saya katakan?"

"Kenapa kamu jadi berputar-putar sekali. Jadi pada intinya, kamu akan tetap menolak kan? Kamu hanya sedang mencari-cari alasan".

Kami saling terdiam setelahnya. Aku berusaha mencari alasan mengapa aku harus menikah dengan Pak Harun. Dari segi usia, jelas kami tidak akan cocok. Ia sudah empat puluh tahun, dan aku masih dua puluh satu. Pola pikir kami pun otomatis berbeda. Belum lagi status sosial, silsilah keluarga, pendidikan, lingkup pergaulan, bahkan hal sepele seperti cara bersikap saja, kami sudah berbeda jauh.

Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now