III. The Great Heartbreak

729 111 24
                                    

Setelah tahap pertama berakhir, Dazai belum melihat Chuuya lagi. Kabarnya ia berada di hospital wing untuk menjalani perawatan intensif. Ia tidak mendengar kabar lain. Tapi ia tahu Shirase dan Yuzu sering pergi ke sana untuk menengok Chuuya.

Dazai sedang termenung di ruang rekreasi Slytherin, memikirkan hal acak. Ia berasumsi Chuuya pasti sudah mengetahui hubungan Shirase dan Yuzu. Ia gagal menyembunyikannya dan membuat sisi psikologis Chuuya terguncang di saat-saat terakhir.

Bila ditarik garis lurus, Maka Dazailah yang membuat seorang Nakahara Chuuya harus mendekam di ranjang pasien selama dua minggu ini. Memikirkan kesimpulan itu setiap hari membuatnya urung untuk menjenguk sinoper itu.

Mereka tidak memiliki hubungan apapun, itu doktrin Dazai untuk menenangkan pikiran. Namun keesokan paginya kesimpulan tadi muncul lagi, mengganggu segala aktivitasnya.

"Oi, Dazai Osamu," interupsi seorang murid tingkat 6 dengan kacamata dan tahi lalat di bawah hidungnya. "Keluarlah dan temui anak Hufflepuff itu! Ini sudah hari ke-14 ia menunggu di depan pintu Slytherin."

Lelaki brunette itu berpaling, menatap seniornya itu heran. "Ango-san menghitungnya?

"Keluar saja dan bawa penggemar setiamu itu ke tempat lain. Mengganggu pemandangan," decihnya seraya mengambil tempat di sofa lain.

Dazai mendengus pelan, kemudian berjalan gontai keluar ruang rekreasi Slytherin. Ia sedang tidak ingin berinteraksi. Mungkin orang terakhir yang ia ajak bicara sebelum Ango adalah murid entah dari mana yang kursi sebelahnya cukup longgar untuk ditempati--saat sarapan di aula besar.

Dengan berat hati, Dazai membuka pintu asramanya dan menemui Akutagawa. Remaja tak beralis itu menyambutnya dengan tatapan khawatir. "Apa senpai tidak mau menemaniku menjenguk Chuuya-san?"

Dazai menghela napas. Ia baru menekankan pada diri sendiri untuk tidak peduli. Jadi ia menjawab, "Tidak. Pergilah sendiri!"

"Perawat Yosano berkata ia hanya makan sedikit beberapa hari terakhir."

"Lalu?" Ekspresi Dazai berubah skeptis.

"Aku pikir kita bisa mencoba menghibur--,"

"Kau saja. Ia sudah cukup terhibur dengan kehadiranmu," potong Dazai cepat.

"Aku sudah menjenguknya kemarin," ucap Akutagawa membuat langkah Dazai tertahan, "Chuuya menanyakanmu."

Dazai terdiam sejenak, menahan diri agar ia tidak langsung berhambur ke hospital wing di depan Akutagawa. "Aku akan ke sana nanti. Kau tidak perlu menunggu di depan pintu asramaku hanya untuk mengatakan itu."

Setelah pernyataan tadi, Dazai berjalan kembali ke dalam. Ia menghela napas lega ketika menutup pintunya. Namun sedetik kemudian ia bingung sendiri karena merasa tertagih. Ia merasa harus pergi ke hospital wing segera. Ia bahkan sudah melupakan doktrin yang selama ini selalu ia tanamkan.

"Ango-san," interupsi Dazai pada seniornya yang masih duduk di ruang rekreasi, "apa yang biasa dibawa untuk menjenguk orang sakit?"

"Buah? Kue? Apapun yang manis?" Jawaban yang membuat otak Dazai kalang kabut. Di mana ia bisa menemukan hal-hal itu dalam waktu lima menit.

"Kalau kau bingung, cukup bawa diri dan pergi. Seperti itu, maka perawat di hospital wing tidak akan direpotkan dengan kegiatan pembersihan."

.

.

.

Dazai sedikit gugup ketika mengetuk pintu ruangan. Perawat berambut sebahu yang sadis itu sudah mempersilakannya masuk, tapi gemetar di kakinya masih terlihat, tidak dapat ditutupi. Saat keluar dari ruang rekreasi, untungnya Akutagawa sudah pergi. Jadi ia bisa kemari tanpa ada perasaan takut karena diikuti.

[√] a normal present | soukokuWhere stories live. Discover now