03. Lamaran

236 31 16
                                    

"Lo kenapa sih Zo? Pulang sana. Cari cewek lain aja ngapain ganggu gue terus," Zea mendengus kesal, sampai kapan ia harus menunggu Mezo benar-benar tidak akan menganggunya lagi.

"Terserah gue lah kaki-kaki gue kenapa lo yang ribet!" Mezo hanya melirik sekilas pada Zea dan kembali fokus pada gamenya.

"Hufft," Zea menghembuskan napasnya keras, menunjukkan betapa kesalnya Zea sekarang.

Dring.

Suara ponsel Zea menghentikan pembicaraan mereka.

"Iya bim?" sapa Zea saat mengetahui Bima lah yang meneleponnya.

"Hah?" Zea terkejut, ia bahkan menutup mulutnya.

"Bukan bukan gitu, tapi apa bisa secepat itu,"

"Ya sudah kamu datang aja, nanti aku kabarin orang tua aku,"

"Kenapa?"

"Ini si Bima kata nya mau ngelamar, eh-" Zea menutup mulutnya terkejut dengan apa yang hendak ia katakan, bagaimana bisa Zea berniat untuk memberitahu Mezo.

Apa yang dikatakan oleh Zea tidak ada kebohongan sama sekali. Zea benar-benar terkejut saat mengetahui bahwa Bima akan menikahinya. Zea tidak terlalu serius dengan jawabannya barusan karena ada perasaan tidak siap.

Di satu sisi, Zea berpikir jika ia menikah otomatis dia tidak akan melanjutkan hubungan pacaran ini dan tentu saja Zea bisa terlepas dari Mezo.

Zea akan memikirkan ini lagi, jika ia ingin membatalkan hal ini, Zea akan mengatakan pada Bima sebelum Bima datang ke rumahya.

Mezo mengepalkan tangannya di samping sofa. Seharusnya Mezo lah yang harus melamar Zea sejak dua tahun yang lalu. Tapi, Zea terus saja menolaknya.

"Oh," hanya itu yang bisa dijawab oleh Mezo.

Zea menghela napasnya lega, biasanya Mezo akan marah bahkan akan membanting semua barang yang ada di rumah Zea tapi sekarang Mezo tidak menunjukan sikap yang tidak mengenakan.

Zea menatap Mezo dengan pandangan benci. Mezo tidak tahu saja jika Zea mengetahui semua keburukan Mezo selama ini.

"Ya udah lu bisa pulang Zo, mungkin dia bentar lagi datang ke rumah," Mezo hanya mengangguk dan langsung beranjak dari duduknya.

"Oke, gue bakalan balik lagi ke rumah pas malam Ingat jangan lupa kunci pintunya karena walaupun lo kunci gue tetap bisa masuk," ucap Mezo sebelum ia membuka pintu dan keluar dari rumah Zea.

Lihat Mezo bahkan tidak emosi mendengar kabar ini, biasanya Mezo akan marah besar saat Zea dekat dengan pria lain. Ini sungguh hal yang sangat aneh!

Dua puluh menit Zea habiskan waktu terus memikirkan Mezo dan Bima.

Tidak lama kemudian Bima mengetuk pintu berulang kali di rumah yang Zea duduki sekarang. Zea beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu dan membukanya di sanalah orang yang dicintai datang sambil tersenyum hangat.

"Halo sayang," sapa Bima, lalu berjalan masuk ke dalam rumah Zea.

"Jangan masuk Bim, ia bahaya kalau ada yang liat." Sudah berapa kali Zea melarang Bima hanya saja pria itu selalu mengelak tapi kalau disuruh tetap menurut. Berbeda dengan Mezo yang sangat tidak bisa menurut.

"Yaudah." Bima jalan ke luar dan langsung duduk di meja teras. "Tapi kok Mezo boleh masuk sih? "

"Hah maksud kamu?" Zea mengernyitkan dahinya apa selama ini Bima tau bahwa emang selama ini Mezo selalu masuk ke rumah.

"Hah? Aku cuman ngasal, ia emang benar ya?" Bisa bisanya ia hampir saja membongkar rencananya yang selama ini selalu mengikutii Zea.

"Nggak kok." Tentu saja Zea harus berbohong bukan? Ia tidak mau pacarnya berpikir yang tidak-tidak.

"Aku mau nanya sama kamu, kenapa Mezo kayak gimana ya bilangnya. Dia kayak nggak pernah marah sama kamu," pertanyaan Zea membuat Bima tersenyum sinis. Kalau saja Bima sendiri sudah dipastikan ia akan tertawa dengan kencang.

"Aku juga kurang tahu, ya mungkin karena muka aku yang sanggar," balas Bima santai, "Hahaha, sudah deh nggak usah pikirin cowok nggak penting itu, lagi pula kita bentar lagi juga bakalan nikahkan," lanjut Bima.

Zea mengangguk mengerti tidak ingin penasaran lagi tentang apa yang terjadi antara Bima dan Mezo. "Btw, kamu udah kabarin orang tua kamu tentang lamaran itu?"

"Sudah dong, mereka setuju," jawab Bima sambil tersenyum miring.

"Kamu mau minum apa?" tanya Zea.

"Nggak usah aja Ze, kamu udah makan?" Zea menggeleng atas pertanyaan Bima barusan, "Yaudah ayo kita pergi makan di luar," Zea mengangguk. 

***

Di balik sejoli yang sedang bahagia, ada Mezo yang tidak bisa memendam rasa sakit hatinya, Mezo memukul cermin di rumahnya dengan tangan kosong hingga darah menggalir dari tangannya dengan beling kaca yang menempel.

Sakit, rasa nyesel ini bahkan membuat Mezo sesak. Kenapa jalan cintanya serumit ini? Kenapa pria itu harus merebut perempuannya padahal masih banyak wanita di luar sana. Tapi Mezo rasa Bima hanya mempermainkannya bukan? Jelas saja Mezo dan Zea sudah lebih dahulu dijodohkan.

Hanya saja sampai sekarang Zea tidak mengetahui kabar itu.

Mezo bahkan sudah tidak tahu hal apa yang harus ia lakukan agar Zea lebih memilih dirinya dari pada Bima. Bisa sajakan perjodohan itu dibatalkan karena Zea yang tidak ingin dengannya?

Mezo mengeleng, tidak mungkin ia pisah dengan Zea. Mezo harus tenang jangan sampai ia terperangkap dengan jebakan Bima yang hanya membuatnya menyesal nantinya karena terasa kalah.

Tok Tok Tok.

Bunyi ketukan pintu di kamar Mezo membuat aksinya terhenti, ia menarik napasnya dengan pelan lalu menghembuskannya. Mencoba untuk bersikap tenang. Lalu ia langsung berjalan menuju pintu untuk membuka pintu.

Rupanya ada wajah teduh Ibunya yang terpampang di balik pintu.

"Kenapa Zo?" tanya Mia, Ibu Mezo.

"Nggak papa Ma," balas Mezo sambil tersenyum dan menyembunyikan tangannya yang berdarah dibalik punggung.

"Mama kira kamu kenapa napa, Mama dengar kayak ada suara pecahan kaca gitu," ucap Mia sambil menatap curiga ke arah Mezo, dan Mia mencoba mengintip ke dalam kamar Mezo. Tapi pandangan matanya terhalang dengan tubuh Mezo.

"Mungkin ada pembangunan samping rumah," Mia mengangguk walaupun wajahnya masih kentara dengan keraguan.

"Yaudah mama mau masak dulu ya Zo," Mia mengelus pipi anaknya dengan pelan lalu berjalan hingga menghilang dari pandangan mata Zea.

Setelah memastikan mamanya pergi, Mezo langsung masuk kembali ke dalam kamar, membuka bajunya hingga tertampanglah punggung yang penuh bekas luka dan tato pedang yang berada di punggung kanan Mezo.

Mezo menyiram tubuhnya dengan air tanpa memperdulikan lukanya yang masih basah. Setelah mandi Mezo langsung menggunakan jaketnya, mengambil ponsel dan menelepon seseorang.

"Gue terima tantangan lo," hanya itu yang diucapkan oleh Mezo, lalu langsung mematikan sambungan teleponnya.

Sepertinya dengan memukul wajah orang lain bisa membuat perasaan lebih lega.

"Mau kemana kamu? Selalu keluar malam, belajar sana," pria yang menyandang sebagai ayah di rapornya menatap Mezo dengan pandangan tidak mengenakan. Mezo tidak perduli dan terus berjalan keluar menuju pintu depan.

"Anak kurang ajar," dapat Mezo dengar umpatan samar-samar dari Renzi, ayah Mezo saat Mezo sudah berada di luar pintu utama.

***

Ayo hargai aku ya dengan vote dan comment nya :") kalau banyak yang komen aku jadi semangat nulisnya.

Crazy MarriageWhere stories live. Discover now