[1] Gusar

241 7 0
                                    

Gadis di hadapanku terpingkal-pingkal.

"Tidak semudah itu, Bambang!" katanya.

Dia lalu menutup mulutnya dengan dua tangan, bersikap anggun. Masih tertawa. Kali ini dengan suara pelan.

"Nama gue Akhyar. Bukan Bambang," tukasku.

Dia menyadari nada tersinggung dariku. Detik-detik berlalu canggung. Dia mendeham.

"Gue enggak siap diajak nikah. Belum siap mengandung, ngelahirin, dan momong anak. Lagian gue tuh masih semester lima. Belum sarjana. Belum kerja. Orang tua gue enggak akan setuju."

Pemuda yang duduk di sebelahku membujuk, "Kalian jalani aja dulu. Kalau nanti cocok, baru deh ke jenjang yang lebih serius."

Kepalaku auto berputar ke Fadly, teman seangkatanku di kampus. Wajahnya menunjukkan rasa tak bersalah. "Jalani aja" versi halus dari "ayo pacaran sana".

"Mungkin pendekatan dua atau tiga tahun dulu biar kalian sama-sama tahu luar dalam..."

Kupotong perkataan Fadly, "Kalau begitu, gue pamit. Maaf ya, sudah mengganggu siang-siang begini."

Tanpa tersenyum aku bangkit dari kursi, meraup tas ranselku, lalu berderap meninggalkan dia dan teman perempuannya yang kebingungan.

Fadly mengejarku. Kesal campur marah, aku tidak memperlambat langkah.

"Mau ke mana lu?" tanyanya.

"Pulang."

"Pulang? Sopan banget. Tunggu sebentar apa susahnya sih? Lu kan yang minta carikan cewek."

Itu salahku sudah minta carikan lewat Fadly.

"Dia lumayan manis loh, berprestasi, suka canda lagi. Jalan bareng dia enggak bakal bosan. Kurang apa coba?"

"Enggak ada," sahutku cepat.

"Terus salahnya di mana, bro? Gue yakin dia naksir ama lu."

"Entahlah, Fad. Perasaan orang bisa berubah-ubah kapan saja." Aku juga sudah lupa siapa namanya.

"Lu masih berpikir lu enggak mau pacaran?"

"Sampai kapan pun gue enggak mau pacaran sebelum menikah."

"Widih... Lu enggak bakal bisa dapat bini idaman tanpa pacaran alias penjajakan dulu. Nanti tertipu kayak pepatah beli kucing dalam karung. Kalau itu bener-bener kejadian, baru menyesal lu."

Aku diam saja.

"Lu mau jomlo bertahun-tahun?"

"Memang aneh jadi jomlo?" tanyaku balik.

"Enggak. Tapi memangnya lu bisa tahan tanpa belaian seorang cewek? Secara elu kan cowok normal."

Aku melotot ke arahnya. "Fad, gue pikir kita sudah beda jalan. Sekarang gue enggak mau mendengar lu dan enggak mau ngomong sama lu lagi. Sorry. Assalamu alaikum."

Kutinggalkan Fadly secepat kilat. Tidak peduli apakah dia paham dengan perkataanku barusan.

[ ].




Selamat datang buat kamu yang sengaja/ tidak sengaja ngeklik work ini.

Cerita ini insya Allah akan up setiap malam. Semoga. Tiap chapter jumlah katanya enggak banyak-banyak, kok.

Jangan lupa lima waktu, ya.

Nihar

Menjemput Teman Hidup (tamat)Where stories live. Discover now