[5] Tertunda

243 7 0
                                    

Aku sangat sibuk di toko buku sampai tak sadar terdapat belasan notifikasi WhatsApp. Pesan mahapenting Nasir malah terbaca tiga jam kemudian.

Dua pekan berlalu sejak nazhor pertama. Qadarullah, kali ini yang ingin berkenalan seorang janda tanpa anak. Usianya tiga tahun lebih tua. Aku sudah sering mendengar label miring perceraian. Tapi perempuan yang bernama Sita ini pasti orang baik-baik. Justru akulah yang mesti siap-siap tebal telinga sekaligus mental baja menghadapi omongan tetangga kampung halaman, suatu hari kelak.

Tidak ada masalah berarti pada CV taaruf perempuan itu. Kabar gembiranya, dia hobi memasak!

Di hari pertemuan yang telah dijadwalkan, aku dan Nasir menunggu di salah satu restoran makanan cepat saji. Sita mengenakan abaya kuning. Dia datang bersama seorang perempuan bergamis hitam berjilbab panjang yang mungkin adalah anggota keluarganya. Mereka terlambat sepuluh menit dari janji. Aku tidak bertanya di mana Ummu Raudah.

Sita cantik. Paras sempurna ternyata tak menjamin kehidupan rumah tangga awet. Seperti nazhor yang lalu, aku lebih suka mengamati tanganku ketimbang menatap si calon.

Kali ini aku sedikit mengulang-ulang penjelasan. Pertanyaan Sita sama dengan yang pernah ditanyakan Indriani dulu. Finansial - pekerjaan - tempat tinggal.

Sampailah pada topik obrolan yang tidak terduga.

"Mas Akhyar, apakah kamu nanti ada keinginan berpoligami?"

Aku yang ditanya, tapi aku menatap Nasir, seolah jawaban ada padanya. Kalau saja Ummu Raudah di sini, mungkin dia tersinggung melihat reaksi spontanku.

"Saya bahkan enggak pernah kebayang poligami, Mbak." Aku tersenyum kecut.

Menikah saja baru niat. Sudah lompat ke poligami.

"Pria kalau sudah kaya dan sukses pasti kerjaannya mencari madu mulu," gerutunya.

"Enggak semua lho, Mbak Sita. Rasulullah enggak begitu," tukasku. "Saat kaya-raya sampai jatuh miskin, Rasulullah tetap setia bersama Bunda Khadijah. Istri satu-satunya. Ketika Bunda Khadijah wafat, beliau sedih banget sehingga harus dihibur dengan peristiwa Isra Miraj. Beliau memang menikah lagi setelahnya. Itu pun atas perintah dari Allah karena perilaku Rasulullah menjadi contoh teladan untuk umatnya kelak. Misalnya, Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy padahal Zainab itu masih terhitung sepupu, sekaligus mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkatnya. Artinya, kita tidak dilarang menikahi sepupu. Dan, laki-laki boleh menikahi janda dari anak angkat sebab Rasulullah sudah mencontohkannya. Jadi intinya, Rasulullah punya banyak istri bukan karena nafsu."

Sita tersenyum, aku langsung menundukkan mata.

"Kalau Rasulullah, tentu saya enggak meragukan beliau, Mas. Kami sebagai istri harus meneladani salah satu istri-istri beliau yang mulia itu. Tapi yang saya permasalahkan adalah pria zaman now. Yang dengan pede menikah lagi. Sok-sokan mendeklarasikan dirinya adil, padahal yang sering terjadi cenderung ke istri kedua dan 'menzalimi' istri pertama."

"Begini ya, Mbak. Suami boleh menikah lagi jika istrinya tidak bisa memberikan keturunan, tidak bisa melayani sebab sakit parah, atau ada uzur lainnya. Boleh, asalkan ada rida dari istri. Sedangkan bagi istri yang tidak kuat karena libido suami yang tinggi sampai keseringan...."

Aku sengaja tidak selesai mengatakannya, toh ketiga orang dewasa di sini pasti paham. Tatap mataku sempat bertabrakan dengan perempuan bergamis hitam.

Aku mendeham, lalu melanjutkan, "Sehingga dikhawatirkan si suami bakal berselingkuh atau jajan, maka suami boleh menikah lagi. Asalkan istri rida. Poligami itu halal. Tapi, saya sadar saya bukan orang senekat itu. Berat tanggung jawabnya. Di surah An Nisa ayat tiga dijelaskan, 'kalau tidak mampu berlaku adil, menikahlah dengan satu wanita saja'."

Punggungku ditepuk-tepuk Nasir. Penjelasanku sepertinya terdengar menggebu-gebu.

Tak satu pun dari kami mengungkit alasan perceraian Sita. Tetapi dengan tegas Sita menyatakan dia tidak mandul. Datang bulannya teratur. Informasi penting yang perlu diketahui setiap calon suami ketika penjajakan. Rasulullah bersabda, 'nikahilah wanita yang penyayang dan subur karena aku bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat kelak'.

Aku baru selesai menggambarkan latar belakang keluargaku saat Ummu Raudah datang tergesa-gesa masuk restoran. Perempuan bergamis hitam yang menemani Sita bangkit berdiri, menangkupkan dua tangan di depan dada ke arah kami, lalu pergi. Ummu Raudah duduk di kursi yang ditempatinya tadi, menggantikan posisinya.

"Tadi menjemput anak-anak," kata Ummu Raudah. Suaranya pelan di balik masker. "Silakan dilanjutkan obrolannya."

Ternyata banyak kesamaan antara aku dan Sita, seperti jenis makanan dan acara televisi yang tidak disukai, hingga majelis talim maupun kajian online yang rutin diikuti. Setelah pertemuan hari itu, aku yakin dia cocok menjadi bagian dari hidupku. Aku bisa terima kekurangannya.

Tanpa ragu kuajukan niatku melamarnya empat pekan lagi, tepat di hari sidang skripsi. Nasir tersenyum dan mengucap alhamdulillah.

Kesibukanku tidak berkurang. Draf skripsi disetujui. Tinggal melengkapi administrasi, bayar ini-itu. Pelan-pelan belajar menjadi suami dan ayah yang baik. Fakta bahwa aku akan menemui ayah Sita membuatku lebih gugup ketimbang maju sidang. Bagaimana cara mengambil hati calon mertua? Aku tidak merokok, mungkinkah menjadi nilai plus?

Aku teringat adik Nasir yang seorang atlet karate. Membayangkan suatu saat dia berumah tangga, dia sanggup melindungi istrinya dari kejahatan. Andai aku juga menguasai ilmu bela diri. Sedikit saja.

* * *

Anda :

Bang, saya jg pengin
belajar karate.

Bang M. Nasir, S.Kom :

Mantul, mas.
Mukmin yg berbadan kuat
lebih dicintai Allah.

Anda :

Mau gak adik abang
ngajarin saya? 😁


Bang M. Nasir, S.Kom :

Teknik dasar self defence
ada banyak di youtube, mas.

Anda :

Siap.
Semoga cepet bisa.


Bang M. Nasir, S.Kom :

Optimis.
Asalkan niatnya
jgn disalahgunain
buat ngajak org berantem.


Anda :

Gak lah, bang.
Saya cuma ngerasa
kerdil aja.
Gak bisa apa2.


Bang M. Nasir, S.Kom :

Antum mgkn ada
keterampilan lain?
Misal ngecat perabotan, atau
benerin kincir kipas angin,
kayak adik aku.

Anda :

Masyaallah.

* * *

Di hari sidangku, dosen-dosen penguji tidak mencecar banyak pertanyaan. Masih perlu revisi di beberapa paragraf. Masih terdapat tanda baca yang keliru, dan typo. Meski begitu, hasil penelitianku mendapat pujian.

Usai sidang, bersalaman sebentar dengan rekan-rekan cowok, aku bergegas pulang. Bersiap-siap menuju rumah Sita pukul tiga sore. Tentu tidak "cari mati" datang ke sana sendirian, Nasir masih setia menemani. Aku bingung bagaimana membayar jasa dia beserta tim perantara perjodohan nanti. Kontribusi mereka sudah banyak sekali.

Setelah mengeluarkan motor dari pagar indekos, aku mengecek ponsel seraya menghafal jalur rumah Sita.

Jantungku berdebar keras. Kubaca berkali-kali pesan WhatsApp di layar. Nasir mengabarkan bahwa Sita tiba-tiba tidak ingin melanjutkan tahap khitbah kami. Dia memutuskan berhenti, sebab kedua orang tuanya tidak setuju dia dilamar pemuda berbeda suku.

Jodoh memang tidak bisa dipaksakan.

[ ].


Menjemput Teman Hidup (tamat)Where stories live. Discover now