[2] CV

215 6 0
                                    

Berawal dari obrolan biasa di taman kampus yang rindang antara tiga orang; aku, Fadly, dan gadis berbaju pink yang diperkenalkan oleh Fadly, tentang suka-duka masuk perguruan tinggi.

Namun, saat topik mengarah pada keinginan menikah, dan Fadly merasa perlu membeberkan fakta bahwa aku sendirilah yang minta tolong kepadanya agar mengenalkan salah satu teman perempuan yang potensial, rasanya mood-ku rusak dari segala penjuru.

Kena mental; ditertawakan oleh mahasiswi yang baru dikenal satu jam lalu, padahal aku bukan tipe mudah tersinggung. Bukan salahnya. Dia hanya kaget tiba-tiba ada pemuda yang ingin melamar padahal dia tidak berencana berumah tangga dalam waktu dekat. Tidak siap ditolak, semacam itu. Aku salah pilih situasi dan salah alamat saat minta bantuan.

Wajar aku marah pada Fadly. Aku dibesarkan untuk menghargai dan menjaga kaum perempuan. Orang tuaku, terutama ayah, tak pernah mengajariku menjalin hubungan tanpa komitmen sebagaimana yang Fadly bayangkan.

Berusaha melupakan pertemuan di taman tadi siang, aku pergi ke perpustakaan kecil milik masjid di kompleks kampus, sambil menunggu jam masuk kelas kuliah sore. Ingin membaca sesuatu sekadar mengalihkan pikiran dan menenteramkan suasana hati.

Seseorang memanggil namaku saat aku berada di sekitar rak buku sejarah. Aku menoleh ke arahnya. Dia mengucap salam, ramah. Aku pun menyahut salamnya.

Kami berjabat tangan. Laki-laki itu menepuk pundakku seolah kami sahabat lama.

Aku memanggil laki-laki itu Bang Nasir. Masih muda, empat tahun di atasku. Kami berkenalan di masjid ini sekitar setahun lalu, ketika sama-sama berteduh menunggu hujan reda. Nasir tahu aku mahasiswa perantauan yang mengemis ilmu di universitas paling ternama di provinsi ini. Hanya sedikit hal yang kutahu tentang dia. Yang pasti dia jauh beda dengan Fadly.

Aku ceritakan masalah tadi siang kepada Nasir.

"Jadi, Mas Akhyar ceritanya sekarang mau mencari calon istri?"

Kukira akan dihadiahi tawa dan menanggung malu lagi. Ternyata tidak.

"I-iya, Bang. Mungkin sudah waktunya saya menjalankan sunah Rasulullah."

"Kalau Mas Akhyar berkenan, aku bisa menolong."

Perlu beberapa detik baru aku merespons dan meringis, "Menolong saya? Bagaimana caranya, Bang? Maaf, saya tidak mengerti."

Nasir tersenyum kecil. "Kebetulan, aku bersama beberapa teman selama tiga tahun belakangan ini jadi perantara perjodohan syari. Mas Akhyar tinggal bikin curriculum vitae yang bagus dan jujur. Nanti aku serahkan ke teman-teman. Mereka akan mencarikan perempuan yang tertarik, lalu menjadwakan nadzor--pertemuan antara Mas dengan si calon. Di luar itu, posisi Mas sebagai klien dirahasiakan. Biodata Mas tidak bocor ke mana-mana. Insyaallah kami amanah."

Aku langsung ingin mencoba ikhtiar menjemput teman hidup melalui biro jodoh yang ditawarkan oleh Nasir. Entah mengapa aku percaya padanya, padahal kami jarang bertemu. Aku tidak begitu mengenal dia seperti aku mengenal Fadly. Yang kutahu Nasir kerap menjadi imam Salat Zuhur di masjid kampus dan dia mengaku adiknya pernah memenangkan kejuaraan karate nasional.

Aku yakin dia orang baik-baik.

Sepanjang sore itu aku mulai merasakan harapan secerah mentari. Ikhtiar demi mendapatkan jodoh, aku mengucap bismillah

* * *

Malam itu di kamar indekos, bersila di antara tumpukan draf skripsi, aku membuat curriculum vitae menggunakan laptop tua sahabat seperjuanganku.

Isinya: nama lengkap, usia, alamat rumah, suku, golongan darah, ciri fisik, status, riwayat pendidikan, pekerjaan sementara, hobi, penyakit yang diderita, hal yang disukai dan dibenci, karakter positif dan negatif. Akan tetapi, kontak pribadi seperti alamat surel, nomor WhatsApp dan akun Instagram belum perlu dicantumkan di situ. Di bagian terakhir, aku menulis visi misi pernikahan, kriteria istri yang diinginkan, dan harapan dua puluh tahun ke depan setelah berkeluarga.

Aku hanya mencari istri yang taat agama. Yang menyenangkan hati setiap aku memandangnya. Tidak muluk-muluk. Tak perlu sempurna, karena aku sadar toh aku punya banyak kekurangan.

Keesokan harinya aku menyerahkan print out CV taaruf milikku kepada Nasir di tempat yang sama. Ia tersenyum, memintaku bersabar menunggu tahap selanjutnya.

Terjebak di antara pesimis dan optimis. Pesimis karena tidak ada hal yang bisa dibanggakan dari diriku. Hanya seorang mahasiswa semester tujuh yang ngebet pengin nikah supaya acara wisuda nanti digandeng seorang pendamping. Optimis karena yakin bahwa setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Laki-laki bersama perempuan. Rahmat Allah itu super luas.

Aku bisa bertahan sebagai jomlo sambil menunggu.

[ ].

Menjemput Teman Hidup (tamat)Where stories live. Discover now