8. Ternyata Senin memang hari terburuk

15.6K 2.2K 86
                                    

Ah, tired as fuck.

"Neng Nara, kok pagi pagi udah dateng?"

Nara tersenyum membalas sapaan pak Naim padanya. "Iya pak, saya mau kasih sesuatu sama pak Naim."

Pria paruh baya itu menghentikan kegiatannya menyiram tanaman karena Nara yang menyodorkan sebuah paperbag padanya. "Apa ini neng?" tanya pak Naim setengah terkejut dan perlahan meraihnya.

"Buka saja pak. Terima kasih banyak sudah menolong saya waktu itu." jawab Nara.

Pak Naim terlihat terkejut, "Neng Nara ... Ini banyak sekali. Saya nggak bisa terima kalau sebanyak ini." ucapnya sungkan.

Nara menggeleng. "Gapapa, jangan ditolak. Saya emang siapin buat pak Naim."

"Terima kasih banyak neng," pak Naim berucap penuh rasa bersyukur. Beliau memang sudah tua, bahkan Nara bisa melihat setitik air mata di pelupuknya. Padahal di mata Nara isinya hanya sebuah sesuatu sederhana namun entah kenapa bisa sebegitu istimewa di mata pak Naim.

"Terima kasih kembali pak. Kalau begitu saya duluan ya."

"Iya neng, semoga seterusnya hidup neng Nara selalu penuh berkah." katanya dengan senyum lebar nan tulus.

"Amiinn."

Nara pun beranjak dari sana karena mulai banyak siswa yang berjalan ke arah koridor untuk menuju kelas kelas mereka. Dan Nara tidak mau jika aksinya sampai ketahuan orang lain. Bisa bisa dia dikira caper dan sok baik padahal niatnya memang baik.

[] [] []

Senin adalah hari yang membuat siapapun merasa moodnya terjun di titik terendah. Entah itu karena upacara yang merupakan ritual ketika hari cerah, setumpuk pelajaran membosankan atau karena persepsi umum segelintir orang yang menetapkan Senin sebagai bad day setelah mereka menghabiskan waktu weekend.

Padahal menurut Nara setiap hari itu sama saja. Mau itu sedang upacara atau biasa keadaannya tidak jauh berbeda.

"Ngapain lo di belakang? Lo ke depan, ansos! Halangin mataharinya buat kita!" seruan bernada perintah itu membuat Nara yang baru saja bergabung dengan barisan kelas merasakan seragamnya ditarik dan di dorong ke depan.

"Jangan sentuh." Nara menampis tangan tangan itu dengan datar.

"Lama lo! Keburu luntur bedak gue!"

Nara pun berdiri di barisan paling depan semata mata untuk menutupi barisan cewek agar tidak kepanasan. Dengan tingginya yang mencapai 167 cm—para siswi merasa beruntung jika Nara memimpin. Padahal yang tinggi seharusnya berada di barisan belakang.

Upacara pun dimulai. Nara tampak tenang sedangkan teman temannya mulai berbisik dan mengeluh karena panas matahari yang semakin terik.

Lucunya matahari hari itu berpihak pada Nara. Ketika saatnya menyampaikan amanat sinarnya yang menyorot Nara redup dan berpindah ke barisan belakang. Alhasil Nara mendapat tempat adem dan mereka kepanasan.

"Ah, sialan. Panas banget lagi!" umpatan kesal bernada pelan itu terdengar.

"Gue minta tisu dong, Reya. Jidat gue keringetan nih ntar kena alis."

"Rempong banget sih lo! Makanya pakai yang waterproof dong!"

"Gue juga bagi tisunya dong!"

Keribetan itu terjadi meski mereka berbisik. Tak membiarkan Nara tenang dalam waktu yang lama, salah satu orang menendang kaki Nara.

Nara sempat hampir jatuh dan salah satu cowok teman sekelasnya pun refleks menahan Nara.

"Gue mau tukar posisi!" katanya ketus.

"Lo diliatin guru." bukan Nara yang menjawab melainkan cowok itu. "Kepanasan dikit aja lebay, emang lo tuan putri?"

"Salah siapa dia tinggi di depan? Gue lebih pendek jadi gantian lah!"

"Kalo kalian berdua keliatan berisik sekali lagi, semuanya di kelas ini saya hukum." tegur bu Lita yang kebetulan memang berkeliling di barisan mereka.

Keduanya pun menutup mulut rapat rapat dan kembali memperhatikan kesiswaan yang mulai mengambil alih mic setelah selesai menyampaikan amanat.

Sudah pasti selanjutnya adalah mendisiplinkan siswa yang tidak menaati peraturan. Maka, majulah siswa siswa tersebut ke depan.

Ketika suara berisik siswa dan suara mic bersahutan, Nara hanya terbengong menatap sepatunya. Tanpa sadar dia pun tertarik ke belakang dan jatuh tersungkur. Meskipun sebuah tangan terulur untuk menolong dirinya bangkit Nara tetap diam.

Nara memilih mundur. Tak peduli apapun yang terjadi ia mulai berlari menaiki tangga dan merebahkan kepalanya di meja kelasnya.

[] [] []

"Anjir, kok kak Aten ada disini sih?"

"Mimpi apa kita tiba tiba di datengin kak Aten begini?"

"Halo kak ..."

Aten Kshatra hanya diam sembari memainkan ponselnya. Dengan earphone menyumpal telinga dan raut wajah datar membuat kadar ketampanan cowok itu bertambah berkali kali lipat. Sudah bukan rahasia kalau Aten memang dikenal punya visual yang memanjakan mata.

Ditambah keluarga Aten adalah donatur tetap SMA Nusantara Pelita. Tak heran fans Aten tak kalah banyak dari keempat sahabatnya.

"Kak Aten, kenapa kakak disini? Ada yang bisa kita bantu?" tanya Gloria, salah satu cewek yang menatap Aten dengan berani. Ah, jangan lupakan fakta dia fans Aten.

"Ada. Jangan berisik." sahut Aten singkat, padat dan jelas.

Gloria tak dapat menyembunyikan ekspresi senangnya merasa dinotis oleh Aten. "Kak Aten, kenalin aku Gloria."

Aten tidak mempedulikan uluran tangan Gloria, lenguhan Nara membuatnya seketika menoleh pada cewek itu.

"Kenapa bangun?" Aten bertanya. Satu satunya alasan Aten berada di kelas IPS 3 pagi itu adalah karena Nara. Cowok itu yang tadinya sedang ke toilet lantai atas melihat Nara tergesa-gesa berlari menuju kelas.

Alhasil, Aten menunggu Nara sampai upacara selesai.

"Hei, Nara?"

Nara mendongak. Mata Aten membelalak saking terkejutnya dia melihat keadaan Nara, begitu pun siswa dan siswi IPS 3.

"Kenapa?" tanya Nara. Dia menyeka darah di sekitaran hidung dengan asal. Darah tersebut masih mengalir, setengah kering di ujung bibir dan philtrum. Seragamnya yang putih sudah penuh darah, bibir Nara pun pucat namun anehnya ada seringai tipis tercipta disana.

"Lo mimisan." ucap Aten cemas. "Darahnya banyak. Kita ke rumah sakit sekarang."

"Gausah." Nara menolak dengan halus. Dia mendekat dan berbisik pada Aten. "Tolong kasih ini buat mang Dadang ya, Aten."

"Gue bakalan kasih mang Dadang. Sekarang kita obatin lo dulu."

"Di dalamnya ada tiga mug sama dua toples cookies. Gue harap masih ada yang utuh." ucap Nara mengabaikan perkataan Aten.

"Nara." panggil Aten, menegaskan suaranya.

"Apa?" Nara menyahut dengan pelan.

"Gue minta maaf. Gue harus lakuin ini." Aten membopong Nara — meninggalkan segala kehebohan yang terjadi. Nara memejamkan mata, memeluk leher Aten dan menyandarkan kepalanya pada dada cowok itu.

"Nara, sebentar. Nara, jangan tidur."

"Maaf Aten."

[] [] []

Gue bakalan lanjut kalo udah nembus 1000+ likes dan komennya nambah. Jadi banyakin yaa, biar gue semangat💓

See yaa!

PrivilegesWhere stories live. Discover now