9. Satu fakta yang terbongkar

15.9K 2.2K 76
                                    

Berhenti menanyakan banyak hal yang bahkan tidak bisa kutemukan jawabannya.

"Gue benci rumah sakit," Aten menjeda kalimatnya dan melihat Nara yang masih tidak merespon. "Tapi ini udah kedua kalinya gue disini."

Usaha Aten untuk mendapat perhatian Nara pun gagal. Cewek itu sejak siuman dua puluh menit lalu hanya diam tak bergeming menatap infusan di tangannya dan bungkam.

Aten menghela napas kasar. "Semua barang yang lo titipin tadi udah hancur. Ga berbentuk." ucap Aten, sekali lagi.

"Semuanya?" tanya Nara. Sepertinya usaha Aten pun akhirnya membuahkan hasil mendengar betapa cepatnya Nara membalas ucapannya.

"Gue menolak menjawab."

Nara pun menutup mulutnya karena tak mendapat jawaban dan Aten tidak pernah jadi sesabar ini sebelumnya. Kenapa ada manusia seperti Nara yang tidak memiliki rasa penasaran untuk bertanya lebih lanjut?

"Lo takut sama gue?" tanya Aten. Dia jarang ditakuti banyak orang tapi tidak menutup kemungkinan Nara takut kan?

Nara menggelengkan kepalanya. Dia justru melirik tangan Aten sekilas. "Gue kira lo luka. Terima kasih udah bawa gue kesini dan maaf udah nitip barang-barang itu ke lo."

"Ah iya, kaki gue yang luka." Aten memegangi kakinya dengan ekspresi kesakitan sehingga Nara pun bangkit dari bangsal.

Bukannya panik Nara malah merogoh sakunya dan ajaibnya ada sebotol kecil obat merah disana serta sebuah plester bergambar dinosaurus.

"Ini. Bersihin lukanya pakai air mengalir terus dikasih obat merah dan tempelin plesternya. Lukanya dalem ga? Perlu dijahit? Aten??" cerocos Nara dengan nada khawatir.

Aten merasa ini lucu jadi dia terkekeh pelan. Nara yang kesal pun meremas selimut dan berdecak.

"Lo bohong kan?" dengkus Nara dan Aten menganggukkan kepalanya sambil menunjukkan cengirannya.

"Lo bisa secerewet itu juga?" tanya Aten geli. Wajar saja, sejauh ini melihat Nara kepedulian cewek itu terhadap lingkungan dan perilaku orang-orang terhadapnya sangatlah minim. Makanya Aten pikir, Nara memang anti sosial sungguhan bukan sok keren biar dibilang misterius.

"Tergantung situasi." sahut Nara datar.

Aten terkekeh lagi. Padahal beberapa menit yang lalu dia kesal dan hampir frustasi menghadapi Nara namun kini rasanya tak seburuk sebelumnya.

"Lo ga nanya siapa yang gantiin baju lo?"

Nara menggelengkan kepala. Baginya, meskipun ia memakai baju sampai sobek pun sepertinya Aten tidak akan menggantikan pakaiannya. Nara pertegas itu tidak akan mungkin terjadi.

Aten pun meneguk air mineralnya dan keduanya diliputi keheningan. Nara jelas bukan tipikal manusia yang akan memulai percakapan apalagi mengobrol akrab dengan Aten yang merupakan anggota Darvel.

Nara melirik Aten kebingungan. Katanya Aten membenci rumah sakit tetapi kenapa Aten betah sekali berlama-lama disini? Lagipula kalau Aten ingin bolos dia bisa bolos di tempat lain kan?

"Nara, ada yang mau lo tanyain?" tanya Aten tiba tiba.

"Lo udah ga benci rumah sakit?"

Aten tersenyum tipis. "Masih. Tapi udah ga seburuk itu."

Nara mengedikkan bahu. Dia memilih memejamkan matanya, namun baru menemukan ketenangan pintu ruang rawat inap pun terbuka lebar.

"Nara, bilang ke gue, bilang siapa yang bikin lo masuk rumah sakit!?"

Nara menghela napas kasar. Lagian siapa sih yang memberi tahu Mahesa kalau dia masuk rumah sakit?

[] [] []

"Lo dari mana, Ten?" tanya Regaza begitu Aten akhirnya datang bergabung di shelter Darvel.

"Dari rumah sakit kan? Lo gatau emang itu trending topic di Nuspel hari ini." serobot Arash. 'Nuspel' adalah sebutan singkat sekolah mereka yang lebih mudah digunakan.

"Sejak kapan Aten jadi lo Rash?" sinis Regaza.

"Aten pasti gaakan jawab. Lagian lo udah tau Reg."

"Gue cuman memastikan."

"Gausah ribut, Arash bener. Gue dari rumah sakit, Reg." Aten menjawab sebagai penengah. Cowok itu membuka laci dan membawa keluar sekotak obat obatan kemudian duduk di sebelah Belvan.

"Ngapain?" tanya Belvan heran. Dia belum tahu bahwa ada kabar mengegerkan Nuspel yang Arash bilang barusan.

"Nganterin Nara."

Mata Belvan membelalak. Yang pertama, dia agak terkejut karena Aten mau menyibukkan diri mengantarkan Nara ke rumah sakit dan yang kedua, melihat penampakan perut cowok itu penuh lebam.

"Lo abis ribut sama siapa?" tanya Belvan cepat.

"Jangan bilang lo ngehadapin target sendirian, Ten?" tambah Arash.

"Siapa namanya?" Ceilo pun membuka suaranya dengan nada berat.

"Mahesa." jawab Aten. "Ga perlu kekerasan. Dia udah dikasih pelajaran." lanjutnya sembari membuka patch penghilang lebam dan menempelkannya di perut kotak kotaknya itu.

"Dua kali lipat?"

Aten menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Ceilo.

"Sebentar. Maksud lo Mahesa mana? Mahesa Rasalas?" tanya Regaza karena tak merasa asing dengan nama tersebut.

"Ya. Mahesa Rasalas yang kita semua kenal."

"Sial. Lo beneran udah bales dia dua kali lipat?" sergah Regaza dengan raut wajah mengeras.

"Nara."

"Hah?" Arash melongo. Kok tiba-tiba Aten menyebut nama cewek ansos itu?

"Kita kan ga bahas tuh cewek," decak Belvan. "Ini tentang Mahesa, lo digebukin tuh cowok brengsek."

"Ten, lo bisu?!" sentak Regaza merasa kesal karena Aten tak bergeming bak patung museum.

Aten mengabaikan segala umpatan para sahabatnya soal Mahesa, ia menatap Ceilo yang menitikkan rokoknya di asbak. Berbanding terbalik dengan yang lainnya, raut wajah itu justru terlihat setenang air danau.

"Nara punya hubungan sama Mahesa." ucap Aten pada Ceilo.

"Hubungan macam apa?" Ceilo menaikkan alisnya, seakan baru tahu fakta ini dan menantikan penjelasan Aten lebih lanjut.

"Gue rasa mereka berdua, adik kakak."

"Lo pasti bercanda." kata Belvan tak percaya.

"Mana mungkin mereka adik kakak anjir, beda jauh!" tukas Arash.

"Diam." tandas Regaza tajam.

Seketika shelter Darvel diliputi keheningan. Ceilo pun mematikan rokoknya dan berujar, "Lanjut, Ten."

Aten pun mulai menjelaskan bahwa Nara terlihat asing dan enggan bersama Mahesa. Begitu pun Mahesa yang terlihat memaksa dan kilatan mata cowok itu yang menyiratkan kebencian sekaligus penyesalan yang menjadi satu.

Nara tak segan untuk mengusir dan mencengkram kasar kerah Mahesa yang tak seharusnya 'saudara' lakukan. Bahkan interaksi mereka dingin selayaknya musuh.

"Biar dia jadi urusan gue."

[] [] []

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang