Tiga

3K 826 185
                                    


Hacin, chap ini pendek aja ya solanya lagi ada kerjaan, smoga terhibur, love u!


>

>

         Pengen banget sebenarnya bisa nahan semuanya, biar nggak terlalu nunjukin rasa suka. Tapi, semakin dicoba, semakin sulit juga.

Aku emang nggak suka sama Yuga secara langsung, itu bertahap kok. Mulai dari awal ketemu dia---biasanya aja sebenarnya, ini bukan cinta pada pertama. Aku merhatiin dia karena emang ya, menurutku dia sosok yang harus dihormati, dia atasan, dan dia terlihat punya karisma.

Mungkin karena keseringan merhatiin, sampai jadi kagum, dan akhirnya melewati batas. Tapi, ini udah masuk ke tahap suka, nggak sih? Atau, cuma emang masih sebatas kagum aja, aku nggak tau, tapi jantungku sering berbedar kalau ngelihat dia, bahkan kadang milih menghindar kalau udah nggak kuat. Semakin ke sini perasaannya semakin kuat aja.

Perihal yang kemarin, aku akhirnya tetep bantu bikin juga power point-nya. Gimana pun aku tetap tulus, karena itu salah satu naskah yang aku pegang, aku senang setiap kali bisa ngasi kabar baik ke penulis, kalau kisahnya bakal diadaptasi ke film.

"Lyn, ini naskah yang gue titipin ke lo pas gue cuti. Penulisnya protes nih, kenapa lo nge-cut bagian ikonik di ceritanya dia."

Masih pagi padahal, aku baru sampai udah disamperin aja sama Josy, dia baru masuk lagi setelah cuti melahirkan, sebagian naskah yang dia edit, dia kasi ke aku, minta aku lanjutin aja.

"Bagian yang mana?"

"Ini, yang waktu mereka berdua makan di Italia, lo malah motong adegan itu." Dia lagi bahas soal tokoh fiksi, ceritanya cowok ini ngajak ceweknya liburan di Italia, dan mereka makan bareng di restoran.

"Oh itu, iya aku potong. Aku juga udah nulis cacatannya kok, apa penulis kamu nggak baca?" Aku tanya lagi.

"Emangnya alasannya apa?"

"Aku motong adegan itu, karena logika bolong. Di situ ada adegan tokoh siapa---ah, aku lupa, Bintang ya nama cowoknya. Nah, Bintang ini nambahin sambel ke makanan si cewek, karena ceweknya ini susah makan kalau nggak pedes. Padahal, kalau di restoran eropa, apa lagi di Italia, banyak koki yang nggak suka kalau makanannya ditambahin hal yang lain-lain." Aku coba jelasin yang kutahu. "Apa lagi, di sana dia nulis adegan kalau kokinya senyum ngelihat tingkah pasangan itu. Nggak masuk akal aja, artinya kan disaksikan kokinya, padahal koki di sana itu kebanyakan merasa tersinggung kalau makanannya ditambah bumbu, minta tambah garam pun kadang nggak boleh."

"Emang gitu?"

"Iya, penulis kamu kurang riset tuh. Kalau aku lolosin, malah kita bisa dikritik." Menurutku, sebagai editor, tugas kita bukan cuma koreksi typo atau rapiin kalimat, tapi juga harus punya pengetahuan umum.

"Terus gimana dong? Katanya itu unik. Penulisnya udah nyindir-nyindir lagi di story whats app, katanya kita seenaknya aja ngehapus."

Aku menghela napas. Karakter penulis emang beda-beda banget. Nggak jarang dari mereka itu sensitif banget dengan naskahnya, aku mengerti sih, nggak semua penulis rela naskahnya diubek-ubek dan rombak abis-abisan. Tapi, aku yakin kok, aku udah ngasi cacatan.

"Yaudah, kasi kontaknya aja ya, biar nanti aku yang hubungi. Biar aku yang jelasin ke dia."

"Sori ya, Lyn. Gue jadi ngerepotin."

Write HereWhere stories live. Discover now