Senja Sedang Tak Baik-baik Saja

160 27 103
                                    

Yuk kita lanjut lagi kisah Langit dan Senja ...

Happy reading!



Setelah Langit menghilang dari pandangan matanya, Senja langsung bergegas ke kamar dengan perasaan yang sangat kalut. Rasanya ingin sekali ia membenci wanita paruh baya yang ia panggil mama tersebut. Gadis itu begitu sedih, ia tahu pasti bahwa Langit sangat terluka dengan sikap mamanya. Ia tidak tahu bagaimana caranya meminta maaf pada Langit.

"Senja? Sayang?" Panggil Ibunya. Gadis itu tidak peduli. Ia berbaring menutup wajahnya dengan bantal. Tak henti hujan turun dari mata yang kata Langit, "Mata yang selalu mampu meneduhkan." Mata itu kini sedang dikunjungi musim hujan.

"Tok tok tok." Wanita paruh baya itu mengetuk pintu kamar anak gadisnya. Namun tidak ada sahutan.

"Senja keluar makan siang dulu sayang." Tambah wanita paruh baya itu seolah tak merasa bersalah pada putrinya dan juga pria idaman putrinya.

Beberapa saat kemudian tidak lagi terdengar ketukan pintu. Tapi hujan dari mata Senja belum berhenti.

"Langit ... , kau pasti sangat terluka." Batinnya. Hujan di matanya semakin deras. Lalu tiba-tiba terpikir olehnya untuk mencoba menghubungi Langit. Ia mengambil gawainya, mencari nama Langitnya Senja di sebuah aplikasi yang sudah tidak asing, WA.

"Berdering." Tapi panggilan Senja tidak dijawab.

Gadis itu berusaha menelponnya beberapa kali tapi percuma. Pikirannya semakin kalut. Apa jangan-jangan langit membenci mamanya dan juga Senja? Memang Langit sedang terluka saat ini, tapi apa dia tidak tahu bahwa Senja pun tidak sedang baik-baik saja? Saat seperti ini kenapa Langit menjadi begitu egois? Mengapa Langit hanya memikirkan perasaannya sendiri? Apa Langit benar-benar sama sekali tidak peduli dengan perasaan Senja?

"Aku tahu kau sedang terluka. Maafkan Mama yah. Aku minta tolong padamu, jangan sampai pergi Langit. Aku mohon padamu. Jika Langitnya Senja pergi, adakah tempat yang dapat menerima Senja dengan baik? Tidak ada langit. Satu-satunya tempat terbaik yang dapat menerima senja dengan baik hanya kamu Langit. Hanya kamu. Senja tidak ingin kehilangan Langit."

"Kalo Langit lagi ngga mau diganggu, ngga apa apa, Senja ngerti kok. Sekali lagi Senja mohon maafin Mama dan juga jangan sampai pergi tinggalin Senja."

Begitulah dua chat terakhir kepada Langit sebelum Senja jatuh tertidur. Gadis itu jatuh tertidur masih dengan air mata yang menjelma anakan sungai di pipinya.

***

Sore harinya Senja terjaga. Ia tidak peduli perutnya sedang meminta untuk di isi. Gadis itu malah lebih memilih mengecek handphone. Ia menggigit pelan bibir bawahnya. Satu titik air mata kembali jatuh. Langit bahkan belum mengabarinya sama sekali. Chat senja pun belum dibaca. Apa Langit benar-benar akan meninggalkan Senja? Jika Langit tidak akan meninggalkan Senja, mengapa chat Senja tidak di baca sama sekali?

Di ruang tamu, sepasang suami istri berbincang serius. Ayah dan Ibu Senja. Keduanya masih membahas tentang Langit. Pemuda yang entah dimana ditemukan Senja. Pemuda yang tampangnya seperti berandalan; Celana panjang yang sobek-sobek, rambut gondrong dan anting yang berdiam manis di telinga kirinya.

"Bener loh Pa, anak itu berandalan."

"Dari mana Mama bilang anak itu berandalan?" Tanya Surya Wijaya, ayah Senja.

Sedangkan istrinya, Anggi Astuti terus mencoba meyakinkan suaminya hal Langit.

"Mama lihat sendiri loh Pa."

"Celananya sobek-sobek, rambutnya gondrong dan di telinganya ada anting juga loh pak." Sambung Anggi.

Senja yang baru saja turun dari kamarnya tidak sengaja mendengar percakapan Ayah dan Ibunya. Air mata gadis itu kembali jatuh.

"Kenapa Mama menilai Langit dari penampilannya?" Gumam Senja.

Gadis itu meneruskan langkahnya perlahan. Suami istri tersebut sontak kaget melihat Senja yang hendak menuju ruang makan.

"Senja? Mau makan dulu sayang?" Tutur Anggi sedikit mengeraskan suaranya.

Gadis yang dipanggilnya hanya menjawab dia dengan satu kata, "Ia."

Apa Senja mendengar percakapan mereka? Tentu, tapi Senja berpura-pura seolah tidak mendengarnya.

Anggi beranjak mengikuti Senja ke dapur. Sedang suaminya kini berpindah ke halaman depan rumah sembari membawa segelas kopi yang tadi diseduhkan istrinya.

Surya Wijaya, pemilik Kafe Senja. Salah seorang yang bisa dibilang cukup berada karena kafenya punya beberapa cabang baik di dalam maupun di luar kota. Tapi pria tersebut lebih memilih tinggal di rumah minimalis dua lantai. Rumah yang hanya dihuni oleh dia, istri dan putri semata wayangnya. Tidak ada yang tahu pasti kenapa Surya Wijaya memilih tinggal di rumah minimalis tersebut. Tapi jika ditanya, dia selalu menjawab, rumahnya cukup untuk dirinya, istri dan putrinya. Dia tidak mempekerjakan ART di rumahnya. Ada satpam yang menjaga rumahnya, tapi hanya bekerja mulai dari jam 6 sore sampai jam 7 pagi, pulang pergi.

Surya Wijaya kembali menyeruput kopinya. Ia memperhatikan senja di langit. Kembali menyeruput kopinya.

"Aku tidak akan membiarkan seorang berandalan menyakitimu, nak." Batin Surya.

***

Senja kini duduk di dekat jendela kamarnya. Setelah makan dan berbincang dengan Anggi, setelah berpura-pura baik-baik saja di depan Ibu yang hampir dibencinya, gadis itu kembali ke kamarnya, mandi, dan disinilah ia setelah mengganti pakaian.

Ia memperhatikan senja di langit yang sudah hampir hilang. Sebentar lagi, malam akan membawa pergi senja.

Terngiang perbincangan kedua orang tuanya tadi.

"Mereka belum mengenalmu Langit." Gumamnya.

"Mereka tidak tahu siapa Langitku." Senja tersenyum.

Senja mencoba meyakinkan dirinya berkali-kali bahwa langit adalah seseorang yang baik, dan demikianlah, Langit bagi Senja tidak hanya baik, tapi istimewa.

Saat gelap malam sudah benar-benar memeluk semesta, Senja kembali meraih handphonya. Gadis itu kembali mengecek WA, dan ia tersenyum setelah itu, sebuah senyuman yang muncul bersamaan dengan satu titik air matanya yang jatuh.

"Aku baik-baik saja. Percayalah. Aku akan tetap menjadi Langitmu selama kamu masih menganggap kamu adalah Senjaku." Isi chat Langit.

"Kamu tidak membenci Mama kan?" Balas Senja.

Tapi centang satu. Jarang sekali WA Langit centang satu.

Hening beberapa saat. Senja mencoba berpikir.

"Astaga!" Teriak Senja histeris saat mengingat apa yang pernah Langit katakan.

Hati Senja mulai gelisah.

"Tuhan, semoga Langit baik-baik saja."


Gimana?

Jangan lupa vote dan komen yah

See you next part:)


Langit SenjaOn viuen les histories. Descobreix ara