18. Kisah

658 110 92
                                    

Hening alobar malam disertai padamnya massa yang menuntut beragam rutinitas sejak tadi pagi, rasanya menjadi waktu yang paling tepat untuk membiarkan pikiran melarung ke bagian terpencil dalam benak.

Di luas kamar pribadinya tersebut, Tama tengah berbaring santai sembari mengangkat lengannya ke atas selaku sanggaan bagi kepala. Berulang kali, laki-laki itu menghela napas panjang seolah akibat ia serampangan menilik sesuatu yang tertuang di buku sketsa milik Luna, barang magis tersebut menjatuhinya efek samping berupa menyerap pasokan udara.

Kilas cerita yang Luna uraikan lewat coretan pensil itu, agaknya memicu beberapa pengalaman buruk di memori Tama. Terutama mulai dari halaman yang menyorot duduknya seorang perempuan di bawah pigura keluarga yang teramat besar, entah kenapa memberi kesan mendalam tentang luka batin yang Tama rasakan.

Memasuki pertengahan buku, garis arsiran Luna juga tampak semakin tebal dan kasar kala memproyeksikan gambaran sudut rumah sehingga menampilkan dua kondisi yang berbeda ketimbang awalan. Tama kira, Luna sedang menyiratkan perihal situasi yang tak terduga atas tempat tinggalnya dahulu yang terbilang aman, tiba-tiba bersanggah kacau begitu saja diwakili hamburan pecahan kaca dan sekian elemen lain yang kurang Tama pahami penafsirannya bagaimana.

Sayang, ketika Tama hendak mengonfirmasi kebenaran tersebut, bel tanda masuk kelas lagi-lagi berbunyi memisahkan mereka dengan percakapan yang belum selesai. Luna menutup pertemuan lewat senyum khasnya yang memilukan, kemudian mengajak Tama pergi keluar seakan tanpa kalimat afirmasinya pun semua sudah jelas diutarakan.

"Lo ... sama kayak gua, Lu?" Tama bersenandika menengadahkan telapak tangannya ke permukaan wajah.

Sedikitnya, kini Tama mengerti mengapa sejak pertemuan pertama, dirinya dan Luna semacam menyuar resonansi sejenis. Apa yang mereka bagi, ternyata bukan sekadar aksi pengasingan diri melainkan spesifikasinya pun berdasar serupa berjudul kerusakan keluarga.

Siang itu di sudut bangku arboretum, Tama selalu bertanya-tanya perkara apa yang mengakibatkan Luna menangis pedih demikian tetap menjaga lembut sikapnya. Petunjuk dari Luna waktu lalu, tentang orang-orang rumahnya yang pandai berbohong, barangkali menjelma pesan bahwa perempuan tersebut sering memendam rasa oleh sebab itu, setiap kerentanannya Luna simpan di balik keanggunan sebuah tabiat. Tindak menipu diri, sekarang begitu menyakitkan untuk Tama lihat. Tama tidak suka mendapati Luna terlalu lihai menampung luka.

Tok Tok

"Abang ... Putri masuk, ya?"

Bunyi ketukan ringan diselingi panggilan tersebut membuat Tama segera mengusap wajahnya mengaburkan pandangan. Laki-laki itu mengatur paru-parunya lebih tenang mengambil pernapasan. Terkadang, malamnya tidak selalu leluasa menciptakan perenungan. Tingkah Putri yang suka membuka pintu kamar semaunya menghancurkan ranah privasi Tama. Mempunyai adik kecil yang terlampau aktif mengajaknya bermain, tentu menuntut Tama perlu siap siaga berlaku ceria. 

"Ih, Abang ... kebiasaan, deh!" Mendapati kelopak mata kakaknya terpejam di atas kasur, Putri lantas langsung menyempil ke sebelah badan Tama. Kakaknya itu pasti berakting lagi, seperti sebelumnya. Putri pun mencubit lubang hidung Tama secara sengaja. "Jangan pura-pura begitu! Putri tau, kok, Abang nggak mungkin tidur kalau lampu kamarnya masih nyala!"

"Duh, Putri, Abang nggak bisa napas!" Menggamit tangan mungil Putri sambil menghirup udara terlampau banyak, Tama pun tertawa singkat menangkup adik kecilnya ke pelukan. Tangan kanannya menepuk lembut puncak kepala Putri. "Haha ... Abang ketahuan, ya? Kamu sendiri kenapa belum tidur? Ini udah malam, 'kan?"

Menampilkan ekspresinya yang cemberut hendak memprotes, Putri mendongakkan wajahnya sembari tengkurap di bidang dada Tama. "Tapi, ini, 'kan, malam Sabtu, Bang! Abang lupa, ya?"

MALATahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon