27. Selamanya

179 37 15
                                    

Usai beberapa waktu berlalu Luna memilih berdiam diri di kamarnya, suasana di luar ruangan tiba-tiba terukur sepi sekali tak terdengar sedikit pun kegaduhan yang biasa ia takuti. Seharusnya, mengetahui tidak ada keributan yang terjadi di dalam rumahnya, Luna merasa tenang. Namun, menyadari kejadian tersebut dapat terulang kembali kapan saja, nyatanya tak lekas membuat Luna semakin terpukul akan kemungkinan yang terbayang.

Terhitung dua jam sebelumnya, Ayah pergi dengan alasan ingin mencari angin sebentar, tetapi hingga sekarang belum balik lagi mengetuk pintu rumah. Mengamati gestur Ayah yang rutin memijat pangkal hidungnya kala berpamitan pada Luna, Luna tahu sebetulnya Ayah sedang muak terus berhadapan dengan Bunda.

Sesaat Luna baru pulang dari sanggar melukis tadi, seperti biasa raut Ayah dan Bunda terlihat berang dan muram layaknya habis menyelesaikan satu perdebatan yang memberatkan. Ironisnya—secepat itu pula, sambutan hangat dan senyuman manis langsung mereka tampakkan sebagai penawar kedamaian bagi Luna. Sungguh sebuah rutinitas basi yang kini membuat Luna cenderung berpikir, segalanya terasa salah untuk mempertahankan satu sikap baik-baik saja.

Ini bukan pertama kalinya Ayah pergi dari rumah setelah bertengkar. Lalu, Bunda biasanya akan marah-marah dan menelpon Ayah jika terlalu lama tidak pulang setelah menuduhnya bermain dengan perempuan lain. 

"Sandi, ini udah mau jam dua belas malam dan kamu belum pulang ke rumah? Kamu beneran ketemu perempuan lain, ya, di luar sana? Kamu main sama siapa? Nggak mungkin, dong, kamu betah keluar sendirian segini lamanya kalau bukan buat ketemu sama seseorang?"

"Pasti perempuan itu pintar banget, ya, hibur hati kamu dibandingkan aku yang nggak pernah sesuai di mata kamu? Iya, kalau perlu kamu nggak usah balik ke rumah sampe besok dan besoknya lagi! Nggak usah bertingkah seolah aku nggak peduli sama kamu dan Luna kalau kamu sendiri nggak becus jaga perasaan istri dan anak kamu sendiri!"

"Belakangan ini aku jadi sadar kalau kamu, tuh, sebenarnya senang, 'kan? Ajak aku ribut karena dengan begitu, kamu bisa pura-pura marah dan keluar dari rumah buat ketemu sama entah siapa perempuan cantik yang diam-diam lagi kamu dekatin sekarang? Kamu lucu! Bahkan aku yakin sekarang pun kamu nggak bakal mau jawab pertanyaan aku dan buru-buru matiin teleponnya karena semua yang aku bilang ke kamu itu cuma omong kosong yang nggak penting buat kamu pikirin!"

Meski demikian, terlepas dari apa yang Bunda katakan, Luna yakin Ayah bukan pria yang seperti itu. Ayah merupakan pria yang sangat menyayangi keluarganya sehingga tidak mungkin Ayah akan bermain dengan perempuan lain di statusnya yang sekarang. 

Karena suatu ketika, saat Luna baru pulang dari sanggar melukisnya dan memutuskan untuk pergi jalan sebentar ke lingkup taman kota, secara tak sengaja Luna pernah melihat Ayah sedang terduduk di sana sambil mendongak mengamati langit malam. Diam mengembuskan napasnya lelah, sedangkan mata Ayah tampak cekung menyisihkan harapan yang sinarnya tak seberapa dibandingkan cahaya rembulan.

"Ayah? Ayah lagi apa di sini?"

Tentu, sebab semburat sedih selalu begitu mudahnya Luna kenali, Luna pun datang mendekat ingin mengajak Ayah bicara untuk memahami apa yang Ayah pikirkan dan juga rasakan. Pasti kala itu Ayah baru bertengkar lagi dengan Bunda. Namun, meski Ayah terkejut Luna telah memergokinya yang tengah bermuram hati, Ayah tetap mempertahankan sandiwaranya sehingga apa yang Luna cari di balik kekosongan hidup Ayah tidak pernah Luna temukan secara nyata.

"Loh, beruntung banget Ayah bisa ketemu putri kesayangan Ayah di sini? Luna abis jalan-jalan sama temen, ya?" ujar Ayah menegakkan tubuhnya seraya tersenyum mengimbangi.

Jika saja Ayah tidak memutarbalikkan pertanyaan Luna saat itu, mungkin Luna akan menjawabnya dengan jujur bahwa sama seperti Ayah, hati dan pikiran Luna sedang kacau sekali sampai rasanya ia butuh berkelana sendiri tanpa tujuan yang jelas. 

MALAWhere stories live. Discover now