2

13 0 0
                                    









"Ibu, jika aku dapat menukarmu, aku tak akan melakukannya. Meski aku membencimu"










Aku memasuki halaman rumah. Ibuku telah memasang raut muka penuh amarah. Dan yang bisa aku lakukan hanya tertunduk, diam, dan tak menangis. Tangisan adalah salah satu senjata ku untuk membunuh diriku sendiri. Ibu akan memukulku, menyuruhku diam. Padahal, air mata sudah berada di pelupuk mata. Namun, Ibu, ia ingin aku untuk memasukkannya kembali ke tubuhku. Menolak respon otakku secara paksa. 


Langkah kakiku memasuki rumah perlahan. Melewati Ibu yang terus berbicara dengan nada tinggi. Suara-suara itu, aku amat membencinya. Ingin rasanya aku sumpal mulut itu. Namun, ia tetap Ibuku. Bukan. Bukan karena aku sayang kepadanya, melainkan aku takut jika melakukannya, orang-orang tak lagi menganggapku satu-satunya anak yang waras dalam keluargaku. Aku tak ingin masyarakat mengucilkanku disaat keluargaku melakukannya. 


Hidup miskin memang susah. Tak ada apapun, kecuali seonggok tubuh diri sendiri. Tak ada ucapan selamat pagi hingga uang jajan sehari-hari seperti anak pada umumnya. 


Ibu kembali keluar rumah, berbasa-basi, menceritakan kebohongan heboh ke tetangga lagi. Iya. Ibuku seorang penipu. Lebih tepatnya, perekayasa hebat. Ia dapat berakting menangis dengan mudah. Marah? tentu saja, itu makanan sehari-harinya. Ia sangat hebat, hingga aku pikir, ia perlu aku daftarkan dalam pencarian bakat akting di ibukota. 


Aku membencinya. Betul. Karena ia penipu. Seluruh keluarga besarku menyebut Ibu dengan itu. Nenek, Paman, Bibi, hingga kakak sepupu tertua pun tak pernah benar-benar mendengarkan ibuku ketika ia bercerita. Karena apa yang akan keluar dari mulutnya hanya sampah. Tak berarti. Ujung-ujungnya, ia hanya akan mengeluh tentang diriku, yang pada kenyataannya aku tak pernah membebaninya, menurutku. 






Aku merebahkan diri di kasur. Setelah berjam-jam yang lalu berada di bawah terik matahari. Ya. Umurku masih 10 tahun. Aku tak tahu apa itu dunia. Yang kutahu, hanya semua hal buruk tentang keluargaku. 


Baru saja merebahkan diri di ranjang, tiba-tiba seseorang memukulku. Aku membuka mataku, mencari tahu dalang dibalik tersangka pemukulan ini. Sangat sakit. Jika dapat dideskripsikan, seperti tangan dan kakimu sedang terkilir. Dia. Kakak tertuaku. Salah satu yang kubenci juga di keluargaku. Sangat benci hingga aku ingin menusuknya dengan gunting suatu hari nanti, pikirku. Namun, pada kenyataannya, obesitasnya akan menghalangiku untuk meluncurkan niatku. Tubuhku sakit. Kakak tak hanya memukulku, ia mencubitku juga dengan keras. Lenganku memerah. Jika saja, aku sudah tahu tentang penganiayaan, ia pasti sudah menderita di penjara bawah tanah. Pikiranku dangkal. Yang aku ingat hanya bagaimana cara membalasnya dengan keji. 


Kugerakkan tubuhku, menghadap Kakak yang tersenyum jahil di depanku. Senyuman yang ingin aku ludahi. Senyuman yang mengisyaratkan bahwa ia membenciku juga. Senyuman yang hanya dimiliki oleh anak pertama yang rakus dan tak bisa mengalah. 


Tanganku meraba sekitar meja samping ranjang. Tak ada yang dapat aku gunakan sebagai alat untuk menyerangnya. Aku hanya bisa membalas Kakak dengan pukulan lagi. Dengan tenaga bocah berumur 10 tahun yang tak berarti sama sekali. Dan disinilah, perkara dimulai. Ia memanggil Ibu. Karena satu pukulan yang mungkin, jika diibaratkan hanya seperti dirimu tertimpa satu pion catur. 



"Bu...!!!" Ucap manusia bodoh



Ibu melangkah dengan tergesa-gesa ke dalam rumah. Aku melihatnya dengan jelas. Ia sudah memegang sebuah gunting di tangan kanannya. 



"Cepat! Berantem kalian! Aku kasih gunting! Biar tusuk-tusukkan sana!" Teriak Ibu.



Sudah tahu, kan? Sifat psikopatku tumbuh dari mana? . Aku memutuskan untuk mundur, dan pergi ke arah lemari. Membukanya, dan mengurung diri dalam ruangan lemari yang lembab dan berdebu. 


Kakakku pergi keluar rumah. Ibu pun. Sedangkan aku, menangis tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Mencoba menahannya agar Ibu tak mendengar dan memukuliku untuk diam. 


Aku menangis cukup lama. Dan akhirnya, mataku tak tahan lagi untuk tetap terjaga sepanjang kurungan diriku. Jadi, kuputuskan untuk terlelap dalam lubang mimpi yang mulai tergali. 







"Kak, jika aku dapat menukarmu, mungkin aku akan melakukannya. "








PurukWhere stories live. Discover now