3

8 0 0
                                    





Aku terbangun. Melihat langit-langit rumahku yang sudah lapuk dan berjamur. Sejenak aku berfikir 'sungguh malangnya diriku' namun, sekejap lagi aku sudah berada di kamar mandi. Ibu menarikku paksa, padahal, belum ada satu menit aku membuka mata. Ia memang selalu seperti itu. Ingin sekali aku melakukan apa yang ia telah lakukan kepadaku. Menariknya secara paksa dan menyiramnya dengan air dingin pukul 6 pagi. 



Tahu. Sangat tahu, jika ia punya alasan melakukan itu. Aku harus kembali menuntut ilmu. Setidaknya apa yang aku lakukan di sekolah sedikit bisa meredam amarahnya. Meski, tak sedikit pun ia berusaha memujiku atas prestasi-prestasi yang kudapat. Ibu adalah manusia angkuh. Ia terlalu keras terhadap dunia. Ia tak mengenal tuhan, eh, Ibu mengenalnya, namun tak  berusaha menaatinya. Itulah mengapa, keluarga besarku tak terlalu menyukainya. Hanya beberapa yang berpura-pura untuk menyukai Ibu, itupun karena mereka butuh tenaga hebat Ibuku untuk mengerjakan apa yang memang mereka tidak bisa kerjakan. 



"Bu, mereka jahat. Namun, menurutku, Ibu lebih jahat."



Ibu tetap menyiramku dengan air terus-menerus. Berharap aku akan tenang, dan membuka mata lebar. Aku terengah-engah layaknya dibekap oleh para penjahat jalanan di malam hari. Mataku tak bisa kubuka, air terus terguyur ke badanku. Sesaat berhenti, namun, kembali lagi. Setelah kurang lebih 5 menit aku berusaha bertahan hidup agar tak kehabisan napas, Ibu menarikku keluar, dengan paksa. Ibu membawaku kembali masuk ke rumah. Ia melempar beberapa potong pakaian ke ranjang. 


"Pakai !"


Aku menurut dengan malas. Aku sangat membencinya. Aku tak ingin menemuinya selepas pulang sekolah. Aku berifkir tentang kabur dari rumah. Tetapi ketakutan adalah musuh terbesarku. Aku takut jika aku mati kelaparan di tengah jalan saat upayaku pergi dari rumah. Aku takut mereka, keluargaku, tak menangis atas kepergianku, namun berpesta karena salah satu beban hidupnya telah tiada. 



Kulangkahkan kakiku pada jalanan becek selepas hujan. Jarak sekolah dan rumahku cukup dekat. Hanya beberapa gang kecil dan beberapa kebun tetangga yang harus kulewati. Terkadang, tangan jahilku mengambil buah-buah yang memang bisa kuraih dengan sekali jalan dari beberapa pohon di kebun tetangga yang tak sengaja melewati wilayah jalanan kecil gang. Beberapa kali aku terpegok oleh mereka. Namun, Ibu hanya memarahi dan memukulku di tempat. Saat di rumah, ia tak sekalipun berani mengeluarkan kata-kata terkait kejadian pencurianku. Karena ia sangat tahu, perilakuku tercermin dari dirinya. Dan ia tak berhak menghakimiku atas apa yang memang gennya turunkan kepadaku. Jadi aku tak pernah menyesal sedikitpun dalam aksi pencurian ini. Meski, beberapa warga yang rumahnya akan kulewati baik saat aku akan berangkat sekolah maupun selepas pulang bermain, mereka akan berjaga di depan rumahnya, berpura-pura mengobrol dan bergosip satu sama lain, padahal pada kenyataannya, mereka tak ingin rambutan di depan rumahnya di ambil olehku. 



Sesampai di kelas, aku mengeluarkan bukuku. Aku terlambat. Semua orang telah keluar kelas untuk mengikuti jam pelajaran olahraga. Sedangkan aku, baju olahraga saja tak punya, bagaimana bisa turut serta kesana? Ibu tak pernah membelikanku. Ia selalu berkata bahwa baju kakakku masih bagus, lebih baik menunggunya hingga lulus sekolah dan memakai bekasnya kemudian. Aku yang tak pernah punya daya apapun untuk berdebat dengan Ibu perihal ini, hanya bisa diam dan menurut. 

Suatu saat, jika ia menua, aku tak akan memberinya uang sepeser pun. Minta saja pada Kakakku yang tak punya masa depan itu.

Kenyataannya, aku juga tak punya masa depan, pikirku. Namun, terkadang aku bermimpi memiliki rumah yang besar, mobil yang terjajar, dan senjata api yang tersimpan di rak-rak koleksi. Itu hanya mimpi. Tak mungkin tercapai kecuali aku mati dan merangkai mimpiku itu dalam tidurku selamannya. 



Kakakku bersekolah di tempat yang sama denganku. Ia sangat bodoh. Hingga sesekali guru matematikaku mengatakan hal menyakitkan kepadanya. 


"Adiknya aja matematika bisa mendapat seratus point. Ini kakaknya satu point pun ia bisa dapat jika aku berbaik hati memeberinya. "


Sangat sakit, hingga ketika aku mendengarnya, aku akan tersenyum bangga. Aku sangat senang ketika aku dapat melampaui kakakku dalam bidang kecerdasan otak. Jika dapat dibayangkan, mungkin aku adalah Albert Einsten keluargaku, dan ia, hanya seorang anak lelaki down syndrome yang tak punya otak. 



Sungguh kejam bukan? Memang. Aku tak pernah menyesalinya. Yang kusesali adalah menjawab 'Iya' ketika tuhan bertanya 'Maukah aku dilahirkan'. 








PurukWhere stories live. Discover now