4

7 0 0
                                    







"Sampah! Kalian semua sampah!"




Aku ingin mengatakannya dengan lantang. Di depan kelas. Ketika banyak manusia-manusia kerdil yang mencoba membunuh kesehatan mentalku. Mereka, aku membenci mereka juga. Jika kutulis dalam sebuah buku, aku akan menulis seluruh manusia di dunia ini adalah yang terburuk. Aku tak pernah tahu bagaimana tuhan merencanakan semua ini. Apakah tuhan hanya bermain-main denganku atau memang ini hukumanku? Namun, atas dasar apa tuhan menghukumku? Memang, aku tak taat, namun, Ibu dan ayahku lebih buruk. Mengapa tuhan tak menghukum mereka. Teman-temanku lebih banyak berujar 'bangsat' dibanding diriku. Namun, kenapa tuhan tak menghukum mereka semua. Mengapa malah aku yang menjadi kambing hitam amarah tuhanku? Apakah memang aku hanyalah produk gagal ciptaan tuhan? Bukankah tuhan tak pernah menciptakan sesuatu tanpa maksud yang baik yang menyertainya? Entahlah. Aku membenci segalanya. 




"Tuhan, aku tidak membenciMu. Aku hanya sedang merasa keadilanMu tak pernah menyertaiku."



Mereka kembali lagi. Membawa pasukan lebih banyak. Aku tak punya teman. Hanya satu yang mau menemaniku, namun ia juga pergi, takut jika orang-orang yang membuliku juga akan membulinya. Sampah!. Teman macam apa itu, hah!. 

Kata-kata mereka sangat kejam. Sumpah. Umur mereka bukan kisaran umur orang tuaku yang suka memaki-makiku. Mereka sama denganku. Anak kecil berumur 10 tahun yang tak tahu apa-apa. Tetapi, perkataan mereka, sangat kejam. Jika saja Undang-undang pembulian verbal sudah marak digunakan mungkin aku akan berlari ke polsek dekat rumahku. Aku akan memenjarakan mereka semua, dan menyuruh mereka makan kerupuk dengan nasi basi di sel tahanan. 


Lagi. Aku pulang dengan tetesan air mata di pelupuk. Aku mengusapnya berkali-kali. Tetapi, ia terus mengalir tanpa ampun. Orang-orang di jalanan melihatku, tanpa ada niat bertanya tentang keadaanku. Seragam yang kupakai lusuh, sangat lusuh. Aku pikir, baju ini lebih cocok jika sobek sekalian lalu ku pakai untuk memulung sampah bekas makanan depan masjid. 

Aku bersembunyi. Di belakang masjid. Tempat yang jarang orang datangi, karena menurut mereka, tempatnya berhantu. Aku tak peduli. Setan pun mungkin tak ingin berteman denganku, bagaimana ia mau menggangguku. Aku sudah memenuhi kriteria mereka. Tak taat kepada tuhan, suka mengumpat, banyak menangis, membenci semuanya. Sudah pantas aku tak lagi menjadi manusia melainkan setan. Namun, kembali lagi. Di dunia manusia saja aku tak pernah diterima, apalagi di dunia setan itu. Mungkin aku hanya akan dipekerjakan menjadi kuli neraka. 


Aku mengusap lagi dan lagi. Buliran air mata ayng terus menerus menetes tanpa henti. Dibalik tembok belakang masjid, aku keluarkan air mataku sangat deras, berharap akan segera surut dan aku bisa kembali pulang. 




"Jika aku dapat dilahirkan kembali, apakah aku boleh memilih tak dilahirkan?"


Andai. Salah satu kata yang aku kagumi sejak lama. Kata yang membuatku merasa lebih nyaman satu detik pada kehidupanku ini. Nenek moyangku memang benar, kutukan itu nyata. Jika bukan karena kutukan aku tak mungkin menjadi seorang separah ini kan. 


Kakiku kugerakkan dengan berat hati. Pulang kerumah adalah neraka terbesarku di dunia. Tak bisakah aku tak pulang? Ingin rasanya waktu berhenti sejenak. Melihat orang-orang tak dapat bergerak. Diam dan mematung. Mungkin, hidupku akan jauh lebih menyenangkan. 


Aku melihat Ibu. Menyapu halaman depan rumah. Siang hari. Aku tahu, aneh. Namun, jika rumahmu tepat di bawah pohon trembesi tua, kamu akan tahu mengapa ia aneh. Ibu sangat aneh. Itu yang kupikir. Dibalik caranya menyapu halaman, ia sangat aneh. Perilakunya tak mencerminkan seorang manusia. Lebih tercermin seorang pengutuk yang siap memakiku kapanpun ia mau. 


Aku berjalan melewatinya, tanpa menyapa, dan hanya menunnduk. Ia juga tidak peduli. 


Kuseret tasku ke dalam rumah. Tak peduli dengan berapa banyak debu yang akan ikut terbawa masuk dengan tasku. Aku tak langsung mengganti pakaianku. Jika Ibu tahu, ia pasti akan marah. Namun, hari ini benar-benar membuatku ingin sekedar memejamkan mata dan tak bangun lagi. Ku lihat langit-langit atap rumahku. 


"Hai, jamur. Jika aku menjadi dirimu, aku akan mengumpulkan bakteri dengan cepat dan membunuh semua orang di rumah ini."


Aku masih memikirkan semuanya. Tanpa pernah habis.


"Sungguh lelah. Ingin rasanya terbang keangkasa dan bertemu alien."

"Jika alien ada, apakah tuhan tak nyata?"

"Alien hanya mitos, bukan?"

"Namun, aku lebih percaya alien dibanding manusia."

"Andai aku seorang alien. Mungkin aku tak akan menderita. Karena aku tak pernah ada"




Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

PurukWhere stories live. Discover now