Hari Kelima, Sabtu - 4

32 9 2
                                    

—Fadila

Usai balik ke hotel, aku lompat ke atas ranjang dan terbengong ria. Kucoba mencerna ulang semua informasi yang kudapat hari ini, lalu coba memastikan apa yang aku rasakan. Takut? Iya, lumayan. Tapi yang paling terasa adalah marah.

Aku pikir aku benci diatur-atur, mau itu oleh orang maupun arwah gentayangan. Aku juga benci ditakuti. Takut adalah pilar dari aturan. Kau tak mencuri sebab takut dipenjara, kau tak berzina sebab takut ke neraka, kau tak Mohawk sebab takut di-DO.

Persetan.

Aku mengeluarkan ponselku dan menatapi nomor kontak Raisa. Si Cebol bilang kalau dia punya nomor itu sebab dipaksa oleh orangnya sendiri. Berhubung mereka teman sebangku. Tapi benarkah begitu? Tak tahu. Aku merasa ada yang aneh. Instingku berkata demikian.

Entah setan apa yang menyurupku. Aku menekan tombol hijau.

"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Mohon hubungi beberapa saat lagi."

Tentu saja. Apa yang aku pikir? Menghubungi Raisa di akhirat? Sebentar. Raisa itu gentayangan. Dia tak pergi ke akhirat. "...." Sebentar. Bahkan bila Raisa pergi ke akhirat, HP-nya tak bakal dia bawa. "...." Oke, sebentar lagi. Seandainya teleponku tadi diangkat, maka yang angkat bukanlah Raisa melainkan si pelaku.

Mataku tertarik ke kontak lain. Hau-Hau. Siapa Hau-Hau? Orang mana? Cina? Bapak goblok mana yang kasih putrinya nama tak jelas macam itu? Bahkan bapakku yang biadab saja masih cukup waras untuk tidak isap kecubung saat mengarang namaku.

Aku menekan tombol hijau. "Ni hao?"

Di luar dugaan, suara yang menyahut adalah laki-laki (dan berbahasa Indonesia pula). "Halo."

"Ini sama Hau-Hau?"

"Ini ... sama abangnya. Hau-Hau kebetulan lagi gak ada. Kamu siapa, ya?"

"Alma Livia."

"Siapa?"

"Alma, Bang. Sebenernya aku bukan kenalan Hau-Hau. Aku cuma pengen minta nomor Zaki."

"Zaki?"

"Abang tau Ahmad Zaki? SMA Bina Taruna, kelas satu. Cebol-cebol, kacamata, suka naik sepeda ontel. Ini yang aku pake HP lama dia. Dia jual ke aku. Kebetulan semua nomor kontaknya masih ada."

"Okeeeeee ...."

"Aku ada urusan sama si Zaki, tapi nomor dia kehapus. Bisa Abang bantu aku, gak? Coba liat kontak Zaki di sana, boleh? Ato kalo gak keberatan kirim lewat SMS. Entar pulsanya aku ganti."

Si Abang diam sejenak, dan untuk sesaat aku pikir kibulanku ketahuan. "Pendek-pendek?"

"Gimana?" Aku bingung untuk beberapa detik. "Maksud Abang ... si Zaki?"

"Mereka ada hubungan apa?"

"Hah?"

"Si Zaki sama ade aku. Mereka ada hubungan apaan?"

"Aku ... aku gak tau, Bang. Aku panggil kontak random aj—"

"Abang! HP aku di mana!" jerit suara perempuan di seberang sana. Si Abang mengumpat, lalu berderap lari dan terengah-engah. "Alma, kamu lagi ada di mana sekarang?"

"Ke ... napa, Bang?"

"Kita ketemuan." []

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Where stories live. Discover now