Hari Keenam, Minggu - 1

34 8 1
                                    

—Zaki

Hari Minggu. Hari yang cocok buat dipakai leha-leha: baca buku, nonton film, makan camilan, molor siang, ngopi, dst., dsb., dsj. Meski begitu, karena suatu alasan, di pagi hari yang begitu cerah ini, aku duduk di jok Phoenix dan mengayuh pedalnya sambil ngos-ngosan.

Seorang gadis bertengger di jok penumpang, mengenakan jaket Adidas merah dan celana jersi hitam. Rambutnya masih diikat ekor kuda, tapi kini ditudungi topi merah berinisial F. Apa arti inisial itu? Entahlah. Fuck, mungkin.

"Jaja, cepetan!" jerit gadis itu sembari berpegangan ke rambutku. "Lelet amat lo, sii? Itu mobil tadi jauh di belakang. Sekarang udah nyusul aja."

"Gue yang salah denger ato lo nyuruh gue balapan ama Toyota Supra Twin Turbo?"

Satu hari yang penuh kekacauan pun kembali dimulai.

—Zaki

Beberapa menit sebelumnya, aku bangun di ranjangku sambil mengerang. Wajahku, yang kini memar di sana-sini, terasa ngilu ketika menguap. Aku meraba-raba ke atas meja, mencari ponselku yang berdering, menendangku dari alam mimpi. Ada SMS.

—Hai, Beb.

Begitulah isinya. Nomor tak dikenal. Tak ada di kontak. Aku mengabaikannya dan kembali coba tidur. Lima menit kemudian, SMS lain datang.

—Beb, kok dikacangin siiii .... Bales dunkzz.

Aku menghela dan garuk kepala. Baru aku hendak menekan tombol matikan daya, SMS ketiga masuk.

—Beb, ML yuk!

Aku tak kuasa menahannya lagi dan membalas.

—Najis.

—Akhirnya! Dibales juga. Beb, baru bangun, ya? BTW soal ML ntu canda, ding. Aku masi perawan, gak bakal dikasih obral.

—Kayak yang punya nonok aja, lo.

—Ada dunkz.

—Yakin bukan kontol?

—Eeew! Pagi-pagi udah ngeres, iiih!

—Lo bener. Bogem gue udah ngeres. Pengen jotos lo.

—Pelesir, yuk!

—Moh.

Sejenak tak ada balasan. Aku pikir dia menyerah. Tolol. Buntut Kuda tak pernah menyerah. HP-ku berdering lagi. —Ada orang yang nuduh lo pelaku pembunuhan Raisa. Lo masih mau diem aja?

Aku mengernyit. —Siapa?

—Siswa Baru.

—Siswa Baru siapa, anjing?

—Kenalan Hau-Hau.

Hmm? Oh. Dia. Aku sedikit kaget dia mau membantu Buntut Kuda dalam perkara ini, tapi aku tak kaget dia menuduhku sebagai tersangka. Jika aku ada di posisinya, aku akan sampai di kesimpulan yang sama juga.

Buntut Kuda mengirim SMS lagi. —Gimana? Terima tantangan? Pengen buktiin kalo teori dia salah?

—Gak juga. Lagian gimana kalo dia bener? Mau lo jalan sama gue?

—Liliput kayak lo? Bunuh orang? Plis, deh. Anjing. Aku hampir mematikan HP ketika melihat lanjutannya di bawah. Lagian Iqla sama Hau-Hau percaya lo. Gue percaya mereka. Lalu, lebih bawah lagi: Buruan. Gue tungguin depan kamar lo.

Bulu kudukku berdiri. Pelan-pelan, aku merayap di atas ranjang, menyingkap tirai, dan ... tampak sebuah wajah melekat di kaca jendela. Terang saja aku menjerit histeris.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Where stories live. Discover now