Hari Ketujuh, Senin - 8

30 8 0
                                    

—Zaki

"Dia udah ada di sana waktu gue dateng," Ketua mulai menjelaskan. "Bediri di seberang sungai, di bawah pohon. Gak keliatan jelas. Matahari ketutup daun. Gue cuma tau kalo dia pake potongan seragam olahraga sekolah."

"Jam berapa?" tanyaku.

"Setengah lima lebih," jawabnya. "Gue gak kelewat merhatiin jam. Gue buru-buru ngumpet di semak-semak, soalnya."

"Ngapain?" Zulfa keheranan.

"Dibilangin ngumpet. Makhluk halus mana mau muncul kalo tau orang kayak gue ada di sana."

Aku tak mempertanyakan definisi kayak gue miliknya—bakal panjang. "Terusin."

"Jam lima kurang seperempat, ada cewek-cowok dateng. Kayaknya mau mesum. Waktu liat ada almarhumah di sana, mereka langsung kecewa.

"Mereka ngotot dan mutusin buat nunggu, tapi almarhumah gak gerak. Lewat jam lima dikit, lokasi jadi makin gelapan. Petugas wisata datang buat cek. Dia usir pengunjung yang masih ada di sana. Katanya bahaya kalo kesorean. Gak ada penerangan."

"Dan waktu itu Raisa jatuh," tebakku.

"Gak. Gak gitu tepatnya. Gue ketauan dulu sama petugas wisata, dikejar-kejar, adu jotos. Waktu itu almarhumah jatuh."

"Njing?" Sinting hingga akhir. "Kalian gak liat dia jatuh, kalo gitu!"

"Mereka enggak; gue liat, sekilas. Almarhumah kejungkir di pagar. Si cewek muda ngejerit. Semua orang lari buat liat ke pinggir jurang, tapi dia udah ilang."

"Gak ada yang dorong?" Zulfa menekan. "Gak ada siapa-siapa di belakang Raisa? Lo yakin?"

Ketua mangut. "Kecuali yang dorong itu makhluk gaib tingkat tinggi yang bisa lolos dari mata batin—"

"Ngaco," sela Buntut Kuda yang biasanya selalu ngaco.

"Bentar." Aku angkat tangan. "Kejungkir? Lo bilang ... Raisa kejungkir di pagar?"

"Kenapa?"

"Jelasin. Spesifik. Apa maksud lo ngomong kejungkir?"

Ketua keheranan. "Kejungkir? Lo paham kejungkir, kan? Jatuh terbalik. Perut dia ketahan pagar, terus dia kejungkir, kepala jadi di bawah."

"Gak masuk akal!"

"Kenapa enggak? Ini fisika cetek. Ada sumbu, ada momen."

"Gue paham fisika makanya gak masuk akal!"

"Kenapa, Cok?" tanya Buntut Kuda. "Bilang," tambah Zulfa.

"Keluarin kamera lo. Ada di tas gue."

Buntut Kuda mengeluarkan kamera kuning tahinya dan menyerahkannya padaku. Buru-buru kubuka beberapa foto TKP. Aku perhatikan baik-baik pagar tebing di sana: reyot, berkarat, usang. "Liat."

"Apaan?" Buntut Kuda angkat alis.

"Pagernya reyot. Biar aman, gue robohin semuanya. Gak perlu tenaga sama sekali."

"Terus?"

Mereka terdiam, bingung. Satu-satunya orang yang bereaksi beda adalah Ketua. "Oh ...," celetuknya, mata mengerjap-ngerjap. "Kenapa gak kepikiran sama gue?"

Aku tak heran. Dia kelewat fokus pada "makhluk halus" dan omong kosongnya sendiri.

"Tapi bentar." Ketua menatapku. "Kalo bukan almarhumah yang jatuh, terus dia ke mana?"

"Gimana?" Zulfa menegak, lalu melotot padaku. "Bukan Raisa yang jatuh?"

Aku menggeleng.

"Gimana bisa!"

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Where stories live. Discover now