CHAPTER 12

10.5K 905 32
                                    

Hari demi hari berlalu begitu saja, sangat monoton bagi kehidupan baru Rayyan, tidak ada seorang pun yang berubah, ah mungkin saudara kembar Rayyan, Zayyan.

Zayyan selalu saja mengekori Rayyan, seperti Rayyan yang mengekori dirinya, dulu. Dimana pun Rayyan pergi, Zayyan selalu berada di sampingnya, bahkan sang empu dengan sengaja beralasan karena perintah orang tua mereka agar bisa selalu berdekatan dengan adik kembarnya.

"Lo bisa nggak sih, sehari..... aja nggak usah ngikutin gue?" Kesal Rayyan, karena kembarannya ini selalu mengikuti langkahnya, ya walau pun ia juga bersyukur karena adanya sang kembaran di sampingnya, jefri dan teman-temannya tidak mendekati dirinya.

"Ini perintah ayah Ray!" Elaknya, padahal itu hanya kemauan Zayyan sendiri.

"Zay... gue mohon.... bisa nggak sih nggak usah ngikutin gue, gue mohon sama lo!" Pinta Rayyan, anak itu menyatukan kedua tangannya memohon agar sang kembaran menjauh darinya bahkan matanya berkaca-kaca, karena setiap ia melihat wajah kembarannya entah kenapa hatinya terasa sakit, bukan karena ia membenci Zayyan, tetapi karena ia merasa tidak berguna sebagai saudara.

Jika terus seperti ini, bukan hanya Rayyan saja yang terluka, tapi mereka berdua, Rayyan tak ingin menyakiti hati kembarannya terlampau jauh.

Zayyan mematung, ia tidak bisa menjawab permintaan sang adik, apa usahanya beberapa hari ini harus berakhir begitu saja?, ia tidak bisa, tidak akan pernah bisa.

"Kalau lo nggak bisa, biar gue aja yang menjauh dari pandangan lo." Ucap Rayyan, karena tidak ada respont dari sang kembaran.

"Tidak, biar aku saja yang pergi!" Jawab Zayyan cepat, saat menyaksikan sang kembaran akan beranjak dari sana, padahal kembarannya itu baru memakan beberapa suap saja. Biarlah untuk hari ini ia yang mengalah, tapi tidak untuk lain hari.

Zayyan meninggalkan kantin dengan perasaan kecewa di hatinya, mungkin perjuangannya masih kurang. Jadi, ia akan melakukan hal yang lebih dari ini.

Rayyan memandang tubuh sang kembaran yang perlahan pergi dari sampingnya, rasanya kosong, padahal ia sendiri yang meminta zayyan agar menjauh dari pandangannya.

Rayyan merasa bimbang, apakah ia harus memulai semua dari awal dengan di hantui bayang-bayang masa lalu, atau kah ia harus mengikuti arus kemana alur akan membawanya? Rasanya ia tak yakin, semakin hari ketakutan di hatinya semakin besar, ia ingin kembali.

.
.
.
.

Rayyan termenung di balkon kamarnya, memandangi indahnya langit berwarna jingga bercampur dengan warna kuning di sore hari, apa lagi burung-burung yang mulai beterbangan menuju sarang mereka. Memikirkan hal itu, Rayyan jadi rindu rumah lamanya.

Namun lamunan itu buyar saat suara ketukan pintu kamarnya terdengar, Rayyan beranjak dari sana untuk melihat siapa yang datang.

Pintu kamarnya ia buka, menampilkan seorang pemuda yang memiliki wajah yang sama persis dengannya, Zayyan. Pemuda itu menghampiri sang kembaran untuk memberikannya sebuah camilan pengganjal perut.

"Ini makanlah!" Ucap Zayyan memberikan sebuah biskuit kesukaan sang kembaran.

"Terima kasih!" Ucap Rayyan tulus.

"Lagi apa?" Tanya Zayyan yang penasaran.

Rayyan tidak menjawab pertanyaan Zayyan, ia kembali memasuki kamarnya, bedanya pintu kamar tidak ia tutup, seakan mempersilahkan Zayyan agar mengikuti langkahnya.

Bau obat-obatan menyeruak memasuki indra penciuman milik Zayyan, walau pun ia sudah sering kali memasuki kamar ini tetapi tetap saja ia tidak terbiasa dengan baunya, ia yang tidak mengalaminya saja lelah, apa lagi sang kembaran yang tiap harinya selalu di suguhi semua hal itu.

Kini mereka berdua duduk di balkon sembari menikmati camilan serta pancaran senja yang mulai meredup.

"Aku ingin pulang!" Ucap Rayyan setelah sekian lama terdiam.

"Ha ?" Tanya Zayyan.

"Tidak." Jawab Rayyan.

Zayyan bingung, padahal tadi kembarannya ini berucap ingin pulang, bukankah ini rumahnya?, lantas kenapa sang kembaran ingin pulang.

".....Kau sudah pulang." Zayyan menanggapi ucapan sang kembaran terlambat.

Bukan 'pulang' seperti itu yang Rayyan maksud tapi kata 'pulang' yang sesungguhnya, yaitu kembali ke dunia aslinya.

Rayyan berdecak pelan, " sudah lah, lebih baik kau keluar saja." Usirnya pada Zayyan.

Sedangkan Zayyan hanya menuruti ucapan sang kembaran, ia keluar dari kamar Rayyan dan menuju dapur untuk mengembalikan piring kotor bekas camilan.

.
.
.
.

Hari ini adalah hari pertama di minggu ini, ya, hari senin, setelah kemarin Rayyan menjalankan libur sekolahnya hanya dengan berada di kamar, tapi tidak bagi sang kembaran Zayyan, anak itu dengan asyiknya berlibur dengan teman-temannya sampai lupa waktu, dan berimbas pada kondisinya yang menurun, anak itu sakit.

"Sakit kan? Rasakan kau!" Ejek Rayyan lalu beranjak dari kamar sang kembaran, ia jadi kesal saat mengingat kejadian kemarin pagi.

"Ya Rayyan, kembali kau... uhuk uhuk..." teriak Zayyan terbatuk, karena tenggorokannya yang terasa sakit.

Dalam hati Zayyan ngedumel, padahal ia harus menjaga kesehatannya agar bisa menjaga kembarannya di luar mansion, tapi sekarang malah dirinya yang sakit. Ia khawatir, apa lagi sekarang hari senin waktunya upacara.

Pintu kamar milik Zayyan terbuka, anak perempuan itu datang menghampiri Zayyan.

"Kakak..." panggilnya pelan.

"Ada apa adik kakak ?" Tanya Zayyan lembut dengan suara yang serak.

"Kakak sakit?" Tanya Amira.

"Sedikit..."

"Cepat sembuh kakak, kalau kakak sakit, Amira nggak ada teman main disini." Ucapnya sendu.

"Kan ada kak Rayyan...." jawab Zayyan.

"Kak Ray nggak pernah mau main sama Mira, lagian kak Ray itu jahat!" Tolak Amira.

"Kak Ray baik kok, nanti kalau Amira pulang sekolah bilang aja Amira mau main sama kak Ray, pasti kak Ray mau kok." Yakinnya.

"Beneran? " tanya Amira memastikan, Zayyan mengangguk.

"Tapi Mira takut." Cicitnya.

"Nggak apa-apa kok adik kakak, percaya deh sama kakak!" Yakin Zayyan lagi.

"Udah, sekarang lebih baik Mira berangkat, nanti terlambat loh." Titahnya kepada sang adik.

"Oke, kalau gitu Mira berangkat dulu ya kak, Mira sayang kak Zay." Pamitnya, mencium pipi Zay lalu keluar dari sana.

Rayyan menyaksikan semuanya tanpa berani menghampiri, saat adiknya akan beranjak dari sana, Rayyan dengan cepat pergi dari sana agar tidak ada yang tahu bahwa dirinya mendengar pembicaraan mereka.

Di ingatan tubuh ini, sebenarnya Rayyan bukan tidak ingin bermain dengan adiknya, tetapi ia hanya takut penyakitnya akan menular pada sang adik, walau pun sebenarnya itu sangat tidak mungkin, karena autoimun bukannya menular tetapi akan mematikan bagi si penderita.

Jika seperti ini, ia jadi rindu dengan adik nakalnya, semoga saja ia bisa kembali ke dunia aslinya, tidak peduli bagaimana pun caranya, ia akan memikirkannya nanti.




Perasaan gini" aja nih cerita, apa aku unpub aja kali ya....
Vote and coment juseyo....
Sekalian mau pamit hiatus, buat mikirin alur ceritanya kedepan....
Anyeong👋

the twins sick figure (END) Where stories live. Discover now