2

16 3 1
                                    

Suatu hari di Kantor Kopkala.

"Yan, notulen rapat minggu lalu udah selesai?" kata Pak Boris dari balik komputernya.

"Rapat minggu lalu?" tanyaku mencoba mengingat-ingat. Ada berapa banyak rapat yang diselenggarakan selama satu minggu yang lalu? Dengan gugup aku mengambil ponselku, dan mencoba mengecek catatan jadwal rapat yang kutulis di aplikasi kalender.

Rapat persiapan event Festival Persahabatan Antarplanet, rapat penyusunan pidato kontak antarspesies tahap awal, FGD membahas rencana pembangunan infrastruktur penyambutan UFO dengan Pemerintah Pusat dan Daerah, rapat penyusunan draft pedoman alihbahasa bahasa alien, rapat kajian antropologis dengan Tim Percepatan Sosialisasi Keberadaan Alien, rapat teknis persiapan jalan santai mengenang Hari Kedatangan Alien Nasional, rapat Dharma Wanita demo masak dan lokakarya potensi kuliner nasional dan cita rasa alien, dan masih banyak lagi.

"Iya, kan kamu yang jadi notulis?" ucap Pak Boris. Dari pantulan di kaca jendela, aku tahu dia sedang sibuk bermain Zuma.

"Rapat koordinasi persiapan kajian aspek keamanan dalam pre-event penyambutan alien?" tanyaku.

"Bukan, bukan," jawabnya sambil menggeleng dan tak memalingkan wajah dari layar monitor. "Yang satunya lagi, yang di hotel bintang lima itu."

"Oh! Rapat kajian linguistik bahasa nasional dan perbandingannya dengan hasil penelitian bahasa alien dalam komunikasi informal jamuan makan malam?" ucapku.

"Betul!" jawabnya cepat. "Udah belum?"

Aku membuka program Microsoft Word bajakan di komputerku dan mencari file notulensi yang dimaksud. Belum ada. Aku menemukan file notulensi yang lain, tapi aku tak berhasil menemukan notulen Rapat Kajian Linguistik Bahasa Nasional dan Perbandingannya dengan Hasil Penelitian Bahasa Alien dalam Komunikasi Informal Jamuan Makan Malam. Aku ingat bahwa aku telah menuliskan dalam reminder-ku bahwa aku akan mengerjakannya dua hari yang lalu, tapi aku tampaknya terlalu cepat menekan tombol snooze dan kemudian melupakannya.

"Sudah, Pak," jawabku. "Tinggal sedikit lagi, sedang dirapikan."

"Kalau sedikit lagi berarti belum. Cepetan, jam satu siang ini harus sudah diserahkan, untuk dimasukkan ke laporan pimpinan."

"Siap!" ucapku refleks.

Mau tak mau, aku membuka file lain dengan judul rapat yang hampir mirip, kemudian melakukan copy paste. Beberapa kalimat kuubah susunannya agar tidak terlalu mirip. Tidak masalah. Kedua rapat ini hasilnya sama saja. Mereka selalu menghasilkan kesimpulan yang sama, yang membedakan hanya obrolan basa-basi dan debat kusir yang ada di dalamnya.

Sudah satu kali ganti presiden dan masih belum ada kejelasan kapan tepatnya alien-alien itu akan megirimkan delegasinya turun ke bumi. Pada awalnya, kami sangat bersemangat menyambut mereka. Khawatir keteledoran kami akan membuat runyam hubungan kedua spesies, kami pernah membuat acara penyambutan yang singkat dan padat. Selain meminimalisir kesalahpahaman dan risiko lainnya, kami juga melakukan penghematan anggaran.

Acara penyambutan itu terjadi tiga tahun yang lalu. Para pejabat negara, anggota DPR, perwakilan ilmuwan, budayawan, dan tokoh agama sudah berkumpul dengan khidmat di bandara nasional. Pengamanan penuh dari tentara nasional dipasang di setiap penjuru, baik oleh angkatan darat maupun udara. Bapak Presiden dan Wakil Presiden datang dengan pengawalan ketat, diiringi oleh tari-tarian nasional dan upacara palang pintu Betawi–lengkap dengan adu pantunnya.

"Kayu gelondongan kayu cendane;
Anak Belande mati di tangsi;
Nih rombongan dari mane mao ke mane;
Kalo mendarat di sini kudu permisi."

"Eh, Bang! Anak Belande mati di tangsi;
Digotong-gotong di dalem peti;
Rombongan alien jauh-jauh nyebrang galaksi;
Mohon diterime dengan senang ati."

INVASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang