Setiap hari adalah hari biasa dan aku mulai merasa pekerjaanku semakin sia-sia. Pagi hari, aku berangkat kerja menggunakan commuter line, berdesak-desakan dengan para pekerja lain yang tak pernah tahu apa yang sebenarnya aku kerjakan. Dari jendela kereta, sering kali aku memandangi bayangan barisan UFO di atas sana dan membayangkan kapan kegelisahan ini akan berakhir. Mungkin akan lebih baik jika kami berperang saja dengan mereka dan punah dengan terhormat daripada digantung seperti ini.

Dalam perjalanan ke kantor, seringkali aku melihat sekumpulan orang yang berdemo agar pemerintah menggunakan kekuatan senjata untuk mengusir para alien dari atmosfer bumi. Motifnya bermacam-macam. Mulai dari rasial, nasional, hingga keagamaan (mereka menganggap para alien sebagai dajjal atau antikristus). Ada pula alasan ekonomi, bahwa anggaran untuk menyambut alien seharusnya digunakan untuk hal-hal lain yang lebih berguna bagi umat manusia.

Ironis, kata mereka, bahwa masih banyak umat manusia yang kelaparan dan tidak sejahtera, tapi kita malah menghamburkan uang untuk makhluk asing yang belum tentu akan bersahabat dengan kita. Sesekali juga aku melihat sekumpulan aktivis yang membuat kampanye untuk memanusiakan alien. Bagi mereka, kita harus tetap mengalokasikan anggaran untuk menyambut alien dengan cara yang paling manusiawi. Perbedaan pandangan ini seringkali digunakan sebagai alat untuk menyerang kekuatan politik yang berseberangan. Sebagai pegawai negeri, itu bukan urusanku. Urusanku hanya menjalankan tugas sesuai fungsi.

Namun kesabaranku tidak tak terbatas. Di dunia ini tidak ada yang tak terbatas. Suatu pagi aku memutuskan untuk sengaja datang terlambat dan turun di stasiun yang tidak seharusnya. Kukenakan jaket untuk menutupi seragamku agar tidak dipotret orang. Kumatikan ponselku dan aku berjalan tanpa tujuan. Masuk mal, keluar mal, makan di pinggir jalan, bicara dengan orang-orang yang tak kukenal. Kupikir, semuanya akan baik-baik saja. Satu hari saja tak masalah. Kalau mengajukan cuti, sudah pasti aku akan ditahan karena berbagai alasan. Memang, menghilang seperti ini pun tidak gampang. Aku harus mencari alasan yang masuk akal. Sakit? Kecelakaan? Diculik alien? Hal darurat apalagi? Aku hanya butuh sedikit istirahat. Kalau bisa banyak.

Tentu saja semua itu tak berjalan dengan lancar. Saat menonton film di bioskop, aku terbayang tumpukan tugas di kantor yang belum selesai serta orang-orang yang akan menelepon menanyakan hal-hal yang tidak kuhapal di luar kepala. Bahkan sesekali aku merasakan "getaran hantu" di saku celanaku. Getaran hantu adalah getaran yang kurasakan seolah ponselku bergetar, padahal tidak.

Film di hadapanku bercerita tentang sekelompok robot berkecerdasan buatan yang memberontak terhadap manusia dan malah balik memperbudak manusia. Menarik sekali, tapi mungkin itulah akibatnya jika peradaban yang tidak cerdas-cerdas amat nekat menciptakan kecerdasan buatan.

Usai menonton film, aku keluar dari bioskop dan tiba-tiba saja aku mendengar suara seorang perempuan memanggil namaku. Aku menoleh. Seorang perempuan cantik berambut pendek tersenyum ke arahku.

"Ternyata kamu masih menyimpan hoodie itu?" tanyanya.

"Alina?" gumamku. Ia tersenyum. Aku segera memeriksa jaket hoodie yang kukenakan dan aku baru sadar bahwa jaket itu adalah hadiah ulang tahun darinya empat tahun lalu. Saat itu kami masih menjadi sepasang kekasih.

"Tadi aku duduk di belakangmu. Untung aku kenal jaketnya."

"Aku malah nggak lihat."

"Kamu nggak kerja?"

"Oh, nggak."

Ia melirik ke arah celanaku. Celana seragam dinas. Ia pasti menyadarinya.

"Kamu itu digaji pakai uang rakyat, jangan sembarangan," ucapnya ketus. Cukup menusuk.

Aku berusaha mengalihkan pembicaraan meski terasa canggung. Sambil berjalan ke pintu keluar bioskop aku menanyakan kesibukannya. Ia masih bermain piano, bahkan sebentar lagi akan diundang ke event internasional. Katanya ia ingin sekali tampil bermain piano dalam acara seremonial penyambutan alien.

"Jadi kapan kita bakal menyambut alien-alien itu? Itu kerjaan kamu, kan?" tanyanya.

"Iya, tapi belum ada jadwal yang fix. Mereka semuanya sibuk."

"Rasain, tuh! Makanya jangan suka sok sibuk," ucapnya sambil tertawa.

"Setelah ini mau ke mana?" tanyaku. Terbesit dalam pikiranku untuk mengajaknya makan siang agar kami dapat duduk dan mengobrol dengan lebih leluasa, tapi belum sempat ia menjawab pertanyaanku, tiba-tiba saja seorang lelaki datang dan menepuk pundaknya.

Sedikit kaget, ia pun memperkenalkan lelaki itu sebagai tunangannya, dan ia memperkenalkan aku sebagai teman kuliahnya. Aku baru sadar bahwa sejak tadi tampaknya mereka memang menonton berdua. Mungkin sang pria pergi ke toilet lebih dulu setelah keluar dari studio bioskop.

Aku tidak jadi memperpanjang pembicaraan. Tidak ada artinya, lagipula mereka sepertinya akan langsung pulang--atau lanjut berkencan. Entah apa hebatnya pria itu dan apa pekerjaannya. Apakah ia juga membolos sepertiku sehingga bisa-bisanya menonton bioksop di jam kerja seperti ini? Sepertinya tidak. Mungkin ia seorang pengusaha, enterpreneur, atau sejenisnya. Tipe orang yang mampu mengatur waktunya sendiri, membuat keputusan-keputusannya sendiri, dan mengendalikan hidupnya sendiri.

Alina pamit dan melambaikan tangan ke arah tempat parkir. Aku dapat melihat kilatan cincin di jari manisnya. Setelah ia menghilang, aku bergegas menuju stasiun kereta.

Setelah bertemu Alina, entah kenapa keinginanku untuk membolos menjadi lenyap seketika. Bukan karena kata-katanya yang pedas dan menusuk, bukan pula karena aku tiba-tiba menjadi bersemangat bekerja, tapi karena tiba-tiba saja aku menjadi muak dengan semua ini--termasuk dengan ide tentang eskapisme.

Aku turun di stasiun dekat kantorku, sebuah bangunan tua berlantai tiga belas yang di dalamnya diisi oleh beberapa kantor pemerintah, salah satunya Kopkala. Di lift yang terasa kotor dan berderit-derit, aku bertemu dengan seorang rekan kerjaku di bidang lain yang menyadari bahwa aku baru datang ke kantor siang ini.

"Lho, ke mana aja?" tanyanya dengan napas yang terburu-buru.

Entah kenapa, sepertinya ia sangat sibuk. Orang-orang yang kulihat di lobi tadi juga terlihat lebih sibuk dari biasanya, meski kadang aku sulit membedakan ketika mereka benar-benar sibuk dan sedang sok sibuk karena ada sidak.

"Ada urusan sebentar tadi," jawabku singkat.

"Dicariin Pak Boris sama Pak Ketua. Hapenya nggak aktif, ya?" ucapnya singkat, kemudian turun lift di lantai lima.

Aku menahan napas. Dicari oleh Pak Boris adalah hal biasa. Ia hampir selalu mencariku untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna. Namun mendengar nama Pak Ketua, aku terkejut. Tidak biasanya ia langsung mencariku yang hanya seorang staf ini.

Aku langsung meraih ponsel di saku celanaku dan baru ingat bahwa aku belum mengaktifkannya kembali. Setelah beberapa detik, ponselku kembali aktif dan sederetan notifikasi langsung muncul bertubi-tubi. Lima belas panggilan tak terjawab, dua puluh pesan baru, lima email.

Posisi di mana? Kamu di mana? Draft sambutan terbaru ada di mana? Tolong cepat. Pak Ketua minta cepat.

JADWAL PENYAMBUTAN PUKUL 16 SORE INI. SEGERAAAA.

Aku terhenyak. Pukul enam belas sore ini? Kulihat jam tangan. Sekarang pukul empat belas lewat lima belas menit!

INVASIWhere stories live. Discover now