EDANAME

411 26 16
                                    

Aku melihat laki-laki berumur sekitar 30an itu tengah berjalan dengan pakaian seadanya,compang camping,kumal,sangat terkesan tak terurus melenggang ditrotoar.Tubuh kurusnya yang menghitam legam terkena debu dan panas mentari hanya menyisakan pemandangan tulang-tulang menonjol yang berbungkus kulit.Tak ada satu orang pun yang berani mendekat,mungkin karena aroma bau kurang sedap dari tubuhnya yang bisa dipastikan tak pernah tersentuh air lagi,atau juga rasa takut yang menjalar kalau nanti ia mengamuk,lepas kendali jika didekati. Kerumunan orang-orang lalu lalang juga tak berani beraksi,mungkin sama sepertiku,hanya bisa bergumam dalam diam dan menggeleng-gelengkan kepala,tak mengerti latar belakang persoalan orang itu kini menjadi gelandangan liar tak berakal budi.

Aku menyebutnya Edaname. Bukan nama yang keren memang,walau hampir mirip dengan nama kedelai dari jepang yaitu Edamame. Aku tidak tahu siapa dia,nama aslinya,dimana dia berasal,siapa keluarganya dan perihal pribadi lainnya. Jadi,kusebut itu saja untuk memudahkanku mengingatnya. Yang aku tahu,ia terlantar,tengah bersandar di pinggiran jembatan tak jauh dari jalan raya gedung serbaguna,entah karena ingin melepas lelah,atau karena kelaparan.

Aku yang tengah mengantarkan adikku berbelanja buku di book fair gedung serbaguna,bergegas memarkirkan sepeda kayuh,lalu memilih menunggu diluar,duduk dibangku kosong dekat perpustakaan sembari memperhatikan Edaname. Mataku lebih tertarik akan gerak-geriknya. Hatiku lagi-lagi mencelos,ngilu,menyaksikan satu lagi hilangnya rasa kesadaran dari diri manusia.

Kurasa,tak ada orang yang berniat menjadi gila,seperti yang dialami oleh Edaname. Semua orang mengalami masalah dalam hidup dengan tingkatan yang berbeda-beda. Ada yang kuat,tabah dan sabar menghadapi serta menyelesaikan persoalan pelik kehidupan tahap demi tahap,banyak juga yang tumbang. Tak kuat mental,bahkan berakhir dengan kematian.

Terlintas sekejap dalam pikiran kecilku;

Bagaimana rasanya menjadi seorang Edaname ?!

Hidup tanpa arah dan tujuan.Hanya beratapkan langit dan bumi sebagai rumah.Jika hujan,ia pasti kehujanan,dan saat matahari menyengat ia juga pasti kepanasan.Ia tak lagi mengerti akan keadaan diri apalagi sekitar,bahkan mungkin ia lupa siapa dia sendiri.Dianggap tiada walau jelas-jelas keberadaan sosoknya.Diusir orang dan kadang-kadang jadi bahan olok-olokan anak-anak nakal.

Jika lapar,ia meminta siapa ?!

Mengais-ngais tempat sampah mencari makanan sisa,termasuk makanan basi,ataukah belas kasih orang-orang yang iba ?!

Tidak takutkah ia sakit karena penyakit lalu meninggal tanpa ada orang yang peduli dan menyadari?!

Tak merasa kehilangan atau kuatirkah sanak saudara keluarga lainnya saat Edaname minggat?

Ataukah kerabatnya terlalu malu mengakui sekaligus lelah mengurusi,makanya hati pun jadi acuh hingga ia dibiarkan semau hati berkeliaran seorang diri ?!

Kenapa tidak dipasung saja setidaknya hidup Edaname lebih terjamin kesehatan dan keselamatan jiwanya ?

Atau paling tidak kan bisa dimasukkan ke rumah sakit jiwa untuk memulihkannya ?

Aku tersenyum,menertawakan kebodohan pertanyaanku sendiri. Apa sih yang aku pikirkan ?!

Pastinya mereka mempunyai alasan tersendiri yang tidak bisa kupahami. Titik. Bisa saja mereka tak mampu untuk membiayai perawatannya atau terlalu sayang untuk mengobati orang sakit jiwa,sementara yang sehat saja masih butuh banyak hal yang harus dipenuhi. Terasuki oleh rasa pesimis.

Tak ada bedanya nasib Edaname dengan Hua,kucing kampung liar yang pernah kutemukan. Tidur sesuka hati dimana saja,makan apa saja tak perduli itu kotor,sisa atau basi jika perut menuntut untuk diisi. Terasingkan dan nyata pula tersisihkan oleh lingkungan. Terpasung jiwa,namun tergilas waktu di raga.

Apakah memang tak ada cara untuk mengembalikan kewarasan?!

Tanya itu hanya mengambang di angkasa langit-langit kalbuku. Karena jujur aku bukan psikolog,aku tak pernah tahu apa obat kesembuhan untuk orang-orang seperti Edaname. Mungkin memang bisa pulih benar,tapi bisa juga tidak. Kurasa semua tergantung dari usaha dan doa orang-orang yang tulus mengasihinya.

Tepukan kecil tangan adikku menyadarkanku kembali ke alam nyata.

"Mba,ayo kita pulang!"

Hari ini,sekelumit tanya kembali muncul dipermukaan,mana yang lebih baik jika kita dihadapkan pada dua pilihan hidup yang sangat carut marut penuh dengan kesulitan;tertekan keadaan kemudian menjadi gila,atau putus asa memilih bunuh diri seakan bisa menyelesaikan semua masalahnya?!

Aah,Tuhan. . . .

Hal semacam itu pasti hanya terlintas pada orang-orang yang tengah buntu pikirannya sehingga berputus pada rahmat-Mu. Orang yang secara tidak sadar meragukan sendiri dimana keberadaan Sang Pencipta saat manusia dihujani berbagai masalah tak berjeda. Pikiran yang tengah tersesat;kebingungan tanpa arah dalam pondasi kekuatan iman.

Pada akhirnya,jawaban itu kembali pada masing-masing nurani per individu.

Kugamit tangan sibungsu segera,bergegas untuk pulang sebelum kumandang maghrib menjelang.



ALAM BERTUTUR KATAKde žijí příběhy. Začni objevovat