BAB 4: Ernestine Young

1.2K 156 58
                                    

Ada tujuh puluh benda yang hilang dari rak paling bawah di sisi kiri Blok C

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada tujuh puluh benda yang hilang dari rak paling bawah di sisi kiri Blok C. Mungkin hanya barang murah seperti potongan besi dan kayu-kayu kering. Atau jika mereka beruntung, setumpuk keramik yang kami kumpulkan dari museum-museum. Aku tidak heran jika yang mengambilnya adalah para pemberontak, yang lebih kuherankan adalah mengapa mereka mencuri dalam jumlah sebegitu banyaknya kali ini. Biasanya hanya beberapa, tidak sampai puluhan.

Aku membereskan berkas-berkas di tanganku dan mengarahkan senter ke jalan kembali. Satu sisi lagi dan aku selesai. Pekerjaan mengecek membutuhkan lebih banyak waktu dan ketelitian. Tapi aku selalu suka ketenangan yang ditawarkan. Biasanya aku memakai sebagian besar waktu sambil berpikir, kebanyakan hanya hal-hal konyol seperti; siapa yang pertama kali menemukan gedung ini dan memustuskan untuk menjadikannya tempat tinggal. Dan apa yang terjadi pada penyerangan alien yang mengakibatkan kehancuran bumi. Kami tidak pernah membicarakan soal kedatangan mereka, kecuali ketika para tetua datang ke waktu makan malam dan menjual kisah. Satu kisah seharga dua keping benda berkilau; seperti kaca atau jika kau amat kaya, emas dan batu-batu mulia. Semakin berharga bayaranmu, semakin menarik kisah yang diceritakan. Tapi itu jarang sekali terjadi. Aku bahkan dapat menghitung sudah berapa kali aku mendengarkan kisah para tetua dengan jari. Dan tidak semuanya benar. Memori dapat hilang dan tergantikan karena kejadian buruk yang lain. Dan semakin lama kisah diceritakan, semakin kecil kemungkinan itulah yang terjadi.

Tujuh belas lagi yang lenyap di rak paling kanan Blok D. Sepertinya masih baru dilihat dari betapa tipis lapisan debu di sana. Kubuka lagi list daftar barang, mengerutkan dahi sewaktu sadar apa itu. Lima pistol rusak dan dua benda tak bernama. Barangkali barang kuno. Jack selalu suka barang kuno. Andai saja dia masih hidup, aku pasti menduga dialah yang mengambilnya. Sayang sekali aku takkan bisa membuktikan teoriku benar. Namun, jika para pemberontak yang mengambilnya--

Alarm mendadak berbunyi. Suara ngiung keras dan kedip-kedip merah dari lampu di pinggir pintu masuk. Selama beberapa detik aku menghitung berapa kali suara nyaringnya menyala sebelum berubah menjadi sesuatu yang konstan. Semakin lama bunyi alarm, semakin berbahaya keadaan. Biasanya tak pernah lebih dari lima detik penuh.

Tujuh detik.

Aku membereskan berkas yang tersisa dan bergegas pergi, menyadari lorong sudah sangat sepi dan lampu mati begitu aku keluar, satu-satunya penerangan hanya kedipan merah dari dalam gudang dan beberapa lain di kejauhan. Kutarik menutup pintu besi, lalu menggunakan senter setelah memastikan pria tua di balik meja tidak ada untuk mengomeliku agar menaruh mereka kembali ke dalam rak. Dari interkom, samar-samar PPP memberikan pengumuman.

"Pergi ke barak masing-masing dan pastikan semua orang sudah masuk. Jangan pergi sampai alarm pertanda aman dinyalakan. Siaga satu. Siaga satu. Diulangi, pergi ke barak--"

Aku mengikuti suara derap langkah di kejauhan. Seseorang berteriak, "Traxer!" dan ledakan terjadi dari arah sana. Aku mengambil jalan memutar di detik-detik ketika cahaya berkilat terlihat dari kelokan, mencari-cari celah di dinding tempat aku bisa menyelinap lewat situ. Lorong tak pernah bagus. Aku lebih suka tempat sempit dan sesuatu untuk dipanjat. Namun begitu aku berbelok, seseorang menubrukku. Senterku jatuh dan pecah seketika, membuat ledakan kecil sebelum benar-benar mati.

Aku mengumpat.

"Oh sial, maafkan aku."

Kuperhatikan si penabrak. Dia mungkin berada di Kelompok Sedang. Rambutnya diikat ke belakang. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Matanya berkilat ganjil, dan bekas luka di lehernya terlalu mengerikan untuk diabaikan. Itu ditambah kenyataan aku tak pernah melihatnya sebelum ini, pemuda itu memindahkan berat tubuhnya ke satu kaki dan mengambil senter yang pecah.

"Sial, ini rusak," dia menatapku, "kau tidak akan tersesat tanpa ini, kan?"

Kebingunganku berubah menjadi kekesalan. "Tidak."

"Bagus, maafkan aku. Dan oh! Jangan belok ke kanan, ada lubang di dinding dan cahaya matahari begitu menyengat," dia memberiku senyum, lalu berlari meninggalkanku.

Aku mengikuti intruksinya, mengambil jalur kiri. Lorong di sebelah sini jauh lebih gelap, dengan sedikit sekali lampu-lampu yang masih mengedipkan warna merah. Baunya lembap dan debu-debu yang bertebangan di udara nyaris membuatku tersedak. Aku mendengarkan suara interkom, kali ini PPP mengumumkan sesuatu yang lain.

"Tutup pintu-pintu menuju barak. Untuk keamanan tutup pintu-pintu menuju barak."

Dengan kesal aku menaiki tangga dua-dua, lalu berlari di atas penghubung jalur yang sisi-sisinya sudah terlalu berkarat dan terlalu berbahaya untuk dilalui. Ini jalur lama. Seharusnya sudah ditutup. Di kiri kananku, lubang yang dalam memancarkan warna biru tenang. Sumber energi kami, atau barangkali hanya cahaya dari Deret Terbawah. Mereka punya teknologi yang lebih canggih dan segala kenyamanan yang tidak bisa kubayangkan. Begitu sampai di depan pintu putar yang setengah terbuka, aku mendengarkan sejenak. Memastikan tidak ada yang berbahaya dari balik pintu. Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kami harus melalui siaga satu. Entah Traxer lain muncul, atau Traxer sebelumnya tidak bisa dikalahkan. Tebakan lainnya ini hanya serangan lanjutan para pemberontak. Namun, jika dipikir-pikir kami hampir tidak pernah berada di siaga satu. Barangkali dulu sekali, sewaktu seseorang membakar dirinya dan mencoba membuat orang lain ikut terbakar. Tapi aku tidak lihat kejadiannya karena sepanjang waktu anak-anak dikunci dalam ruangan berdinding putih tanpa cela.

Setelah memastikan tidak terdengar apa-apa, aku membuka pintu dan melangkah masuk. Menggunakan senter kedua yang kusimpan di saku belakang untuk menerangi kegelapan total di hadapanku. Aku ingat ada jalan ketiga di antara dua lorong yang mengarah ke bawah, sebuah pipa pembuangan yang rusak dan tidak pernah sempat kami perbaiki. Kuarahkan senter ke setiap sisi dinding, kemudian membeku ketika suara langkah kaki terdengar dari salah satu lorong. Percakapan samar menyusul kemudian. Hanya saja ketika aku nyaris menangkap apa yang mereka katakan, suara itu hilang, dan derap langkah ikut hilang bersamanya.

Kuarahkan senter ke sisi kanan, mengikuti alur garis cakaran panjang di dinding besi. Cakaran itu menancap begitu dalam di permukaan, pasti akan sulit memolesnya kembali tanpa tambalan. Dan mendadak keringat dingin mengalir dari sisi-sisi kepalaku, membeku di sana sebelum jatuh dengan bunyi tuk keras yang memantul di tempat itu. Aku nyaris tak pernah melihat es. Itu barang mewah. Hanya bisa didapatkan jika kau amat kaya atau amat bodoh. Mataku menatap butir es itu—yang kini mulai mencair dengan cepat—dan bertanya-tanya apa yang menyebabkannya. Aku tak merasa kedinginan, bahkan aku merasa ringan, seperti ketika aku mengendarai mobil truk dengan kecepatan tinggi di jalanan yang mulus tanpa halangan.

Kuangkat pandangan, baru akan beranjak pergi ketika aku menyadari sesuatu.

Dua mata merah yang berkilat dalam gelap sedang menatapku tajam.[]

[]

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Bloody World: The ApocalypseWhere stories live. Discover now