BAB 5: Ernestine Young

481 106 13
                                    

Mata itu terus menatapku selama beberapa menit, mengirimkan gelenyar kengerian ke seluruh tubuhku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata itu terus menatapku selama beberapa menit, mengirimkan gelenyar kengerian ke seluruh tubuhku. Rasanya seperti berdiri di atas tanah gersang seorang diri, di bawah terik matahari yang menghanguskan kulit. Hanya saja bukan rasa panas yang kurasakan, tapi dingin menusuk yang menyakitkan. Udara di sekitar mata itu berderak samar. Selubung kegelapan menutupi wujudnya.

Pikiran pertamaku adalah lari, menjauh secepat mungkin dan pergi dari situ. Aku tidak tahu ada berapa jenis Traxer dan seperti apa saja bentuk mereka. Yang kutahu—dari kisah-kisah para tetua—mereka adalah makhluk tanpa ampun. Setiap bulan merah mencoreng langit, tepat di malam pembarisan, kapal induk mereka akan melayang sangat dekat ke bumi, nyaris menutupi seluruh langit. Dan dari sanalah tetesan darah akan jatuh untuk memilih. Aku tak pernah membayangkan akan berhadap-hadapan secara langsung dengan salah satu dari mereka. Bukan yang biasanya berkeliaran di siang hari seperti yang banyak Kelompok Besar katakan, namun yang lain. Makhluk lain dari semesta lain. Pemikiran itu membuat perutku bergejolak. Kengerian mendadak menjadi amarah. Aku tidak tahu mengapa itu terjadi, perubahan emosi itu membuat kepalaku berdenyut, mataku mulai kehilangan fokus.

Tepat pada saat itu, sebuah suara muncul jauh dari dalam benakku, merobek kesadaranku dengan dengung menyakitkan.

Makhluk bumi.

Udara di hadapanku berderak, memunculkan sosok pria berkulit pucat dengan jubah hitam panjang. Salah satu tangannya berupa cakar raksasa dan yang lain adalah jari-jari kurus yang panjang, dengan kuku-kuku melengkung yang mengerut ganjil. Wajahnya datar, sekilas dia terlihat seperti pria angkuh yang akan berdiri di balik podium setiap Malam Tahunan dan berpidato tentang kemakmuran, betapa bersyukurnya dia untuk hidup yang jauh lebih baik setiap hari dan matahari yang masih memberikan kami ampunan. Hanya saja tanda besar di dahinya membuatnya terlihat jauh lebih tidak manusiawi.

Kau seharusnya tidak berada di sini.

Suara berat makhluk itu menembus pikiranku. Satu tetes keringat beku lain jatuh di dekat kakiku. Aku mundur selangkah, menimbang-nimbang waktu yang kupunya, di lipatan sepatu bootku ada bilah tajam, tapi aku sudah tidak mengasahnya sejak sebulan lalu dan ujung-ujungnya mulai berkarat. Jika aku dapat meraihnya dalam dua detik, aku hanya punya seperempat detik sebelum cakar-cakar raksasa itu menghentikan pergerakanku.

Tidak ada gunanya, makhluk bumi. Kau tidak punya kesempatan.

Secepat hembusan angin, jari panjangnya sudah berada tepat di hadapan wajahku. Makhluk itu tersenyum tipis, mata merahnya berkilat-kilat dalam kegelapan, sejenak membuatku sadar bahwa seluruh tubuhnya memancarkan cahaya tipis. Cukup menerangi ruangan itu dan dua jalan gelap di bekalangnya.

Jarinya bergerak ke kiri, tepat menyentuh sisi kepalaku. Kutelan ludah gugup, mengawasi pergerakannya.

Ke masa depan.

Kalimat itu seperti di hembuskan tepat ke wajahku. Sedetik aku masih menatap ke kedua mata merah yang berkilat. Detik berikutnya aku berdiri di bundaran melayang, tepat di bagian gedung khusus Pembarisan. Spiker-spiker raksasa memuntahkan bunyi memekakkan. Aku mengerjap. Tidak percaya dengan apa yang kulihat. Di atasku atap pelindung terbuka lebar, memperlihatkan bagian bawah kapal induk. Lucas berdiri tepat di hadapanku, tangannya membuat gerakan aneh, menandakan betapa gugupnya dia.

"Lucas," panggilku. "Sudah waktunya?"

"Sejak sepuluh menit yang lalu, ya. Jangan kehilangan kewarasanmu sekarang, Ern. Layar hologram akan muncul sebentar lagi." Lucas menjawab tanpa menoleh.

"Traxer!" aku mendesiskan kata itu cukup keras agar dia tahu betapa takutnya aku.

"Aku tahu kau terjebak di luar barak sepanjang hari. Seharusnya kau yang lebih tahu. Kau bahkan tidak mau menceritakan apa pun padaku. Jangan buat dirimu kedengaran bodoh di saat-saat seperti ini."

"Aku tadi berada--"

"Berada tepat di belakangku. Sekarang diamlah."

Sebuah hologram memunculkan wajah angkuh pria tua yang kelihatan lelah. Pin berbentuk batu terbakar tersemat di dadanya. Dia tersenyum, senyumnya tak mencapai mata. Dia tak pernah benar-benar tersenyum sepanjang yang aku ingat. Pemimpin tak seharusnya tersenyum. Menurutnya itu adalah bentuk meremehkan dan penghinaan. Dia juga tak pernah benar-benar berbicara. Aku sudah hapal apa yang hendak dia sampaikan jadi aku tidak perlu benar-benar mendengarkan. Mataku menelusuri dinding-dinding, tempat prajurit PPP mengisi setiap celah di sana dengan senapan di tangan. Semua orang berdiri dalam bundaran melayang, aku dapat melihat barisan orang-orang dari Deret Tengah jika benar-benar memperhatikan ke bawah. Pakaian mereka hitam mengilat, memeluk tubuh mereka dengan sempurna.

Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas. Aku pasti sedang bermimpi, atau berada di bawah tekanan ilusi si makhluk bermata merah. Semua orang tahu apa saja bisa dilakukan mereka. Ilusi jelas bukan sesuatu yang mustahil. Aku masih berada di ruangan gelap itu, di luar PPP sedang melaksanakan tugasnya. Acara Pembarisan belum dimulai. Itu masih beberapa jam lagi. Dan para pemberontak akan membuatnya lebih terlambat dari biasanya. Aku tidak sedang berdiri di bundaran melayang, menunggu dua tetes darah jatuh memilih kami. Itu belum terjadi. Ini ilusi.

Begitu mataku terbuka dan pendengaranku memfokuskan diri, yang aku dengar adalah kalimat-kalimat kosong Sang Pemimpin. Aku masih berdiri di bundaran melayang. Semuanya masih seperti yang kulihat sebelum aku memejamkan mata.

" ... untuk semua kesempatan hidup yang diberikan dan anugerah yang kami terima."

Hologram itu lenyap, bertetapan dengan seluruh cahaya di tempat itu. Kesunyian mencekam menggantung di udara. Seharusnya aku merasakan ketakutan di kakiku sekarang. Itu yang selalu terjadi. Pembarisan selalu membuat efek mengerikan itu padamu. Bulu kuduk akan berdiri, tangan berkedut, dan seluruh tubuh rasanya seperti ditekan dari semua sisi. Tapi saat itu tidak. Aku terlalu bingung untuk merasakan itu semua. Mencari alasan logis dari apa yang terjadi. Ke masa depan. Itu yang dikatakan si makhluk bermata merah. Apakah berarti secara harfiah? Atau sebuah memori dalam otakku terhapus begitu saja?

Dua tetes darah seukuran orang dewasa perlahan melayang turun. Dia diam di atas kami selama beberapa saat, seolah sedang menimbang-nimbang manakah yang akan dia selubungi. Aku selalu mengira bahwa itu adalah makhluk jahat, bukan hanya tetesan darah raksasa yang datang membawa terror. Aku bahkan baru benar-benar menatapnya ketika umurku delapan.

Kemudian salah satu dari tetesan itu mulai meluncur ke arahku. Aku memejamkan mata, mengabaikan gejolak di perutku dan rasa takut yang mulai menyebar. Dia akan menyelubungiku. Dia akan menyelubungiku. Dia akan menyelubungiku.

Seseorang di sisi kananku berteriak. Disusul teriakan lain jauh di suatu tempat di bawah. Aku membuka mata, menoleh tepat ketika cairan merah kental itu menyelubungi tubuh bocah laki-laki di sebelahku, membuatnya jatuh berlutut dalam teriakan tanpa akhir. Tangan-tangannya mencoba meraih udara kosong. Tapi cairan itu seperti menariknya turun kembali, membuat tubuh itu seperti tersedot dari dalam. Tubuhnya semakin lama semakin menciut, dan teriakan yang keluar dari mulutnya mulai terdengar seperti lolongan tanpa suara. Aku tidak pernah melihat seseorang yang baru saja terteres begitu dekat. Tidak pernah sedekat ini. Tidak pernah sejelas ini.

Aku masih memperhatikan tubuh itu bahkan ketika salah satu prajurit PPP mendekat, membawa serta bocah itu ketika menjauh pergi. Bersama satu lagi tubuh yang diselubungi cairan kental, mereka lenyap di salah satu terowongan gelap.

Lalu teriakan-teriakan mulai menggema dari dinding-dinding. Menandakan berakhirnya Pembarisan dan mulainya malam-malam penuh terror.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bloody World: The ApocalypseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang