BAB 6: Ernestine Young

594 101 3
                                    

Begitu bundaran melayang mulai merapat menjadi pijakan utuh, aku langsung melesat mencari Caden

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Begitu bundaran melayang mulai merapat menjadi pijakan utuh, aku langsung melesat mencari Caden. Lucas memberiku tatapan kosong, jenis tatapan yang akan muncul di mata-mata setiap orang setelah Pembarisan. Aku tidak ada waktu untuk itu. Aku harus mencari Caden dan memberitahunya.

Butuh setengah jam lebih untuk mencarinya di antara tubuh-tubuh yang terduduk memandang atap yang terbuka. Orang-orang yang berdoa mengalunkan bisikan-bisikan samar di seluruh ruangan. Caden terjebak di antara Leah dan pria berbadan besar di barisan paling depan. Aku tahu Caden tak pernah suka ketika dia harus berpura-pura percaya pada ritual konyol yang membuatnya meratapi ketiadaan setiap kali Leah berada di sampingnya pada Pembarisan. Wanita itu akan menghentikan siapa pun yang mencoba bangkit dan menyuruh mereka untuk berdoa.Ketika aku mencoba menarik Caden-yang memandangku selama beberapa saat sebelum sudut bibirnya terangkat-Leah berdecak sebal.

Untungnya Caden bergerak gesit dan beberapa detik kemudian kami sudah mengikuti orang-orang yang pergi melalui lorong-lorong gelap. Kembali ke baraknya masing-masing hanya untuk mendengarkan dalam diam lolongan para Yang Tertetes.

"Satu menit lagi aku berada di sana, aku akan meledak," Caden menyeringai, tapi kerut di wajahnya belum juga menghilang. Dia masih gugup. Semua orang pasti akan seperti itu. Dilihat dari bagaimana jari-jariku bergetar, aku tahu jika aku membiarkan pikiranku melayang kembali ke tubuh bocah laki-laki di sebelahku tadi, aku juga akan seperti yang lainnya.

"Kau bisa meledak kapan saja. Jack meledak di pembuangan, padahal dia tidak dekat-dekat dengan orang-orang yang meratap itu," kami menaiki tangga sempit menuju tempat latihan, dan selagi aku berusaha meraba dinding besi untuk mencari saklar lampu, Caden berjalan ke tengah ruangan, meraih pedang besar di dinding dan menebas udara kosong di hadapannya. "Aku punya sesuatu yang harus kuceritakan padamu," kataku, mengambil pedang lain yang lebih kecil dan ringan. Tidak banyak pedang di ruangan ini. Tidak banyak yang mau mempelajarinya. Benda itu berat dan menyulitkan. Lucas bilang dia lebih suka senjata api, atau panah, karena itu artinya dia tidak perlu berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat dengan musuh.

"Kau tidak mengatakan apa-apa tentang bagaimana kau selamat di luar barak, apa kau berubah pikiran sekarang?" Caden menyerangku, dan sebisa mungkin aku menangkal semua tebasannya. Gerakan Caden tidak secepat saat latihan. Barangkali karena kami menggunakan pedang asli, bukan pedang kayu rapuh yang tergeletak patah di sudut. Ini salah satu cara kami mencoba mengabaikan lolongan para Yang Tertetes. Bunyi denting pedang akan memenuhi seluruh ruangan dan bergema, menutupi suara mereka.

Aku memutar pedangku dan mulai menyerang balik. Kami bergerak dalam tarian selagi aku bicara. "Ya dan tidak. Ini pasti terdengar gila."

"Kau sudah terlihat seperti kau kehilangan kewarasan sewaktu PPP menemukanmu."

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

Alis Caden terangkat, aku menggunakan kesempatan itu untuk menyerang bagian tak terlindung di pinggangnya. Caden tertawa melihat dirinya terpojok. Aku mundur beberapa langkah, menyiapkan kuda-kuda, lalu menyerang lagi.

Bloody World: The ApocalypseWhere stories live. Discover now