Prolog

10.1K 977 265
                                    

Penunggu Gunung, demikian dirinya sering dipanggil. Bukan, bukan karena dia terkenal sebagai orang sakti atau hebat, walau sebenarnya kemampuannya tidak bisa diremehkan. Dia dikenal dengan nama itu karena dia terlalu malas bergerak, memilih diam di gunung dan seperti yang bisa diduga, menunggu.

"Arga!"

Orang yang dipanggil membuka matanya lalu menghembuskan napas. Suara lantang itu baru saja membangunkan tidurnya selama .... Dia mencoba mengingat. Merepotkan. Biar orang yang memanggilnya saja yang akan menjawab.

"Arga!!!"

Suara itu terdengar makin dekat. Tak lama kemudian, dari mulut goa muncul seorang pemuda. Tubuhnya tegap dan langkahnya tegas. Sekali lihat dia tahu kalau yang datang adalah sahabatnya, Adipati Utara, orang menyebalkan yang selalu mengganggu tidurnya.

"Aku tidak tuli, Hantu Comberan." Arga bangkit dari posisi tidur dan bersila di atas batu licin yang menjadi alas tidurnya. Selagi menunggu Adipati datang, dia menguap beberapa kali.

Wajah tampan dan mulus milik Adipati langsung berkerut ketika melihat keadaan pria yang masih berantakan. Hiasan kepalanya miring dan ikatan jariknya nyaris lepas. Belum lagi rambutnya digelung asal dan wajah yang tertutup oleh janggut lebat.

"Jangan bilang kalau kamu belum bangun sejak lima puluh tahun lalu?" gerutu Adipati mendekat.

"Oh, jadi sudah selama itu aku tertidur?" balas Arga santai, merapikan jarik bermotif parang rusaknya. "Ada apa kamu kemari? Jangan bilang kalau kamu sudah diusir dari hadapan Prabu Bawanapraba."

"Aku kemari justru karena aku diundang untuk hadir ke pertemuannya, lebih tepatnya semua orang dipanggil. Termasuk kamu." Dia melemparkan tatapann tajam.

Wajah Arga berubah menjadi lebih fokus. Alisnya yang terbiasa melengkung naik, kini sedikit menukik tajam. "Ada apa? Tidak biasanya Prabu mengadakan pertemuan besar."

"Entah," balas Adipati sambil mengendikkan bahu. "Sudah kuduga kamu melewatkan pembawa pesan yang dikirim oleh Sang Hyang, jadi aku berbaik hati untuk memberitahu. Berterimakasihlah."

"Baiklah, terima kasih." Arga menguap sekali lagi dan merenggangkan badan. "Aku akan merapikan diriku. Kamu mau menonton di sini atau menungguku di istana?" tambahnya tersenyum jahil.

Adipati Utara hanya berdecak sambil menggerutu keluar dari goa. Langkah kakinya bercampur dengan suara tetesan air yang jatuh ke kolam tak jauh dari sana, meninggalkan sahabatnya yang terkekeh pelan.

Kurang dari tiga puluh menit, Arga sudah duduk manis di istana. Pakaiannya rapi, wajahnya bersih, bahkan sebuah senyum tersemat di sana. Tentu saja, dia bisa serius dan sedikit rajin bila dia mau.

Tidak ada saat yang lebih tepat untuk bersikap demikian selain saat ini, karena bila Prabu Bawanapraba, atau biasa disebut penguasa negeri cahaya, memanggil seluruh anak buahnya, ada sesuatu yang besar terjadi atau akan terjadi. Terakhir Beliau melakukannya adalah karena serangan iblis dan demit beberapa ribu tahun silam. Beribu tahun atau berpuluh ribu tahun? Arga tidak yakin. Konsep waktu di istana ini abstrak.

"Maafkan keterlambatan hamba, Yang Mulia."

Arga menoleh ke arah Adipati Utara yang berjalan masuk, melemparkan seringai. Dia berani bertaruh kalau pemuda itu terlalu asik bermain mata dengan dayang-dayang di istana.

"Duduklah Adipati Utara." Sang Prabu memberi titah dengan suara dalamnya. Suara yang selalu bisa membuat semua orang menoleh dan mendengar.

Masih ada kursi kosong dan Sang Prabu memutuskan untuk menunggu sebentar lagi. Arga bergumam kesal dalam hati dan memilih untuk mengamati sekeliling. Dalam satu kata, istana cahaya milik Prabu Bawanapraba itu indah. Tiang-tiang berlapis emas dan bertahta batu permata menopang ruang pertemuan berbentuk persegi tersebut. Meja di hadapannya terbuat dari kayu jati tebal dan kursinya juga dari bahan yang sama, dipahat dengan hiasan naga bersisik rumit. Matanya kemudian terantuk pada singgasana Prabu di ujung ruangan, beberapa tingkat lebih tinggi dengan ukiran lebih rumit dan berlapis emas. Prabu Bawanapraba yang duduk di atasnya juga tak kalah mengagumkan. Sosoknya mungkin terlihat tua dengan jenggot putih dan kulit keriput, tapi Arga yakin itu hanya pilihan wujudnya untuk menegaskan posisi Beliau sebagai yang tertua di antara mereka. Sang Prabu, tentu saja, bisa mengubah wujud sesukanya.

"Kita akan memulai pertemuan." Suara dalam itu memecah lamunan Arga. Pria itu langsung menegakkan tubuhnya dan memperhatikan ke arah singgasana, walaupun punggungnya mulai pegal. Tata krama istana selalu membuatnya jengah, tapi dia tidak punya sikap selain hormat yang bisa ditunjukkan pada junjungannya.

"Kristal mustika milikku yang pecah dalam pertempuran melawan Iblis beberapa waktu silam, mulai berbahaya. Kekuatan dahsyat yang dimilikinya menjadi perebutan di Nusantara. Manusia, Iblis dan Siluman berusaha menguasainya untuk hal-hal yang buruk." Ada sorot prihatin di matanya yang cerah. "Karena itu, saya meminta kalian, para utusanku, untuk mencari dan membawa kembali pecahan kristal mustika agar bisa kembali utuh di genggamanku."

Suasana hening. Arga melempar pandang ke Adipati Utara yang hanya dibalas oleh tatapan bingung. Pikiran mereka sama.

Bagaimana caranya?

"Maaf, Yang Mulia." Seorang wanita cantik memecah sunyi. Arga mengenalnya sebagai Putri Tenggara. "Bagaimana kami bisa mencarinya di Nusantara yang begitu luas?"

Sang Prabu tersenyum. "Kalian, para utusanku pasti bisa merasakannya. Kristal itu mengandung esensiku dan kalian adalah orang-orang yang telah bersamaku selama waktu-waktu yang tak terhitung."

Arga mendapati dirinya ikut tersenyum mendengar nada hangat sekaligus bangga dalam suara Prabu. Benar, mereka telah melalui banyak hal. Pertempuran melawan Iblis hanyalah salah satunya. Dia pasti bisa merasakan di mana kristal milik junjungannya berada.

Sang Prabu masih membahas beberapa hal sebelum akhirnya pertemuan dibubarkan. Mereka satu per satu keluar dari ruangan. Arga sempat berkelakar dengan Adipati Utara, bertaruh siapa yang akan menemukan mustika Prabu Bawanapraba lebih dahulu dan saling mengucapkan salam perpisahan

Arga menghela napas lalu merenggangkan tubuh di depan gerbang istana. Semoga pekerjaan ini akan menyenangkan. Satu lompatan dan dia terjun bebas ke bumi, ke sebuah tempat yang sebenarnya akrab dengannya, tanah Jawa.

____________________________________

Halo! Sebuah kehormatan dapat diundang ke dalam proyek Twisted Folktales yang diprakarsai oleh kak AryNilandari hehehehe

Aku memilih cerita rakyat Timun Mas karena dari dulu aku selalu ingin mengutik legenda yg satu ini :3 lihat deh bagaimana aku 'merusak'nya

MUAHAHAHAHAHAHA!!!!

Oh ya, prolog ini aku tulis berdasarkan prolog dari cerita Bawang Putih Bawang Merah yang dibuat lebih dahulu oleh HalfBloodElf dan karakter Adipati Utara adalah miliknya :3 silakan mampir ke ceritanya juga XD

Aku belum tahu jadwal up pastinya kapan. Doakan saja bisa segera selesai, karena ini sebenarnya diplot maksimal 10 chapter.
See you

Twisted Indonesian Folktales by Ary Nilandary

[END] Timun Mas - Twisted Indonesian FolktalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang